KABARBURSA.COM-Kisah dimulai ketika seorang dokter Belanda, J. C Blonk, tiba di Sulawesi dan menerima kunjungan seorang jaksa yang merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Jaksa tersebut mengeluhkan bahwa penisnya mengalami penyusutan dari ukuran normal.
Keheranan pun menyelimuti Blonk, karena sebagai seorang dokter, ini merupakan pertama kalinya ia mendengar kasus semacam ini. Dia mulai menggali lebih dalam dengan melakukan penelitian yang akhirnya menghasilkan sebuah temuan yang mengubah pandangan dalam bidang kedokteran.
Hasil risetnya mengenai fenomena ini ia publikasikan dengan judul "Koro", yang berasal dari bahasa Bugis yang berarti penyusutan penis. Blonk menemukan bahwa penyebab utama koro terkait erat dengan faktor psikologis.
Penyusutan penis yang dialami oleh penderita koro sebenarnya hanya ilusi belaka yang dipicu oleh kecemasan yang berlebihan, terutama ketika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol.
Tidak hanya itu, Blonk juga menemukan bahwa kasus ini lebih banyak terjadi di daerah Makassar dan kurang ditemui di tempat lain. Namun, temuannya menarik perhatian dunia kedokteran, termasuk dokter asing yang melakukan penelitian serupa di Indonesia.
Salah satunya adalah Wulfften Palthe, yang pada tahun 1934 mencatat banyak orang yang terdampak koro di Indonesia. Mereka berupaya mencegah penis mereka masuk ke dalam tubuh dengan cara-cara yang aneh, seperti meminta bantuan anak dan istri mereka.
Menurut Palthe, fenomena ini murni dipicu oleh kegelisahan psikologis dan sangat terkait dengan budaya setempat. Dalam banyak kasus, ketakutan ini diobati dengan metode-metode tradisional, karena kejiwaan pada masa itu masih minim diakui.
Temuan Blonk dan Palthe mengangkat perhatian terhadap koro, dan di era modern, fenomena serupa ditemukan di berbagai tempat dengan nama yang berbeda. Di Singapura, misalnya, fenomena ini bahkan memicu histeria massa pada tahun 1960-an.
Kini, koro telah diakui sebagai gangguan kejiwaan yang ditandai oleh kecemasan dan ketakutan yang mendalam akan penyusutan penis, menurut National Institutes of Health. Temuan ini memberikan sudut pandang baru dalam pemahaman terhadap fenomena ini, yang sebelumnya sering dianggap sebagai mitos belaka.