KABARBURSA.COM - Industri fintech peer-to-peer (P2P) lending, yang terkenal dengan layanan pinjaman online (pinjol), kembali mengalami kerugian dalam neraca keuangannya pada awal tahun 2024 ini. Salah satu faktor pemicunya adalah penurunan tingkat suku bunga yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Berdasarkan statistik dari OJK, fintech p2p lending pada Januari 2024 mencatat rugi setelah pajak atau rugi bersih sebesar Rp135,61 miliar. Hal ini mengakhiri periode 12 bulan perolehan laba bersih selama tahun 2023.
Lebih lanjut, penurunan kinerja keuangan dari fintech p2p lending ini sebenarnya sudah mulai terasa di akhir tahun 2023. Laba yang diperoleh pada Desember 2023 turun menjadi Rp478,15 miliar, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp608,21 miliar.
Pada saat itu, OJK merilis aturan main termutakhir bagi fintech p2p lending yaitu SEOJK 19/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SEOJK LPBBTI). Aturan ini ditetapkan pada 8 November 2023.
Ada beberapa pengaturan baru dalam beleid tersebut. Seperti penyelenggara fintech p2p lending dilarang untuk mengalihdayakan pekerjaan yang menjalankan fungsi penilaian kelayakan pendanaan dan/atau teknologi informasi.
Khusus mengenai tenaga kerja fungsi penilaian kelayakan pendanaan, mereka harus masuk dalam struktur organisasi, meski mereka juga bisa tetap menambah referensi data dari pengelola informasi perkreditan. Sementara mereka yang bekerja menjalankan fungsi teknologi informasi meliputi aktivitas pengelolaan akses user, aktivitas pengelolaan database, aktivitas backup dan restore, troubleshooting, serta pemulihan bencana.
Pada Desember 2023 atau setelah aturan itu berlaku, beban operasional fintech p2p lending meningkat 17,61 persen year on year (yoy) menjadi Rp11,29 triliun. Peningkatan terjadi di sisi beban ketenagakerjaan (SDM) yang naik 14,38 persen (yoy). Serta beban kerja sama (cooperation expenses) sebesar 127,54 persen (yoy) menjadi Rp930,86 miliar.
Hal serupa kembali berlangsung pada Januari 2024, terjadi peningkatan beban operasional, khususnya di pos beban ketenagakerjaan dan pos beban kerja sama. Ini satu faktor yang memengaruhi fintech p2p lending kembali ke jalur merugi. Kondisi ini juga yang secara eksplisit diungkapkan pihak OJK.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman menerangkan, terjadi peningkatan biaya operasional sebesar 19,03 persen pada Januari 2024.
“Dari peningkatan biaya operasional tersebut diketahui bahwa proporsi peningkatan terbesar disumbang dari adanya peningkatan biaya ketenagakerjaan (SDM),” kata Agusman dalam keterangannya, baru-baru ini.
Di sisi lain, Agusman juga mengungkapkan bahwa pada Januari 2024, pendapatan operasional hanya meningkat sebesar 10,69 persen. Dalam hal ini, ia tak secara gamblang menjelaskan tren pendapatan operasional di awal tahun tersebut.
Tapi jika ditilik lebih lanjut, pertumbuhan pendapatan operasional itu sejatinya relatif melambat dibandingkan Desember 2023 yang tumbuh 28,14 persen, atau sebelum aturan manfaat ekonomi diberlakukan. Adapun SEOJK 19/2023 ikut mengatur manfaat ekonomi atau yang juga dikenal sebagai tingkat bunga pinjaman dari fintech p2p lending.
Dalam ketentuan itu, pinjaman produktif harus menerapkan tingkat bunga 0,1 persen per hari mulai 1 Januari 2024 dan sebesar 0,067 persen per hari mulai 1 Januari 2026. Sedangkan pinjaman konsumtif berlaku tingkat bunga 0,3 persen per hari mulai 1 Januari 2024, turun menjadi 0,2 persen per hari mulai 1 Januari 2025, dan menjadi 0,1 persen per hari mulai 1 Januari 2026.
Sebelum 1 Januari 2024, tingkat bunga tidak dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif karena belum diatur ketat oleh OJK. Tingkat bunga disepakati maksimal 0,4 persen per hari, berdasarkan arahan dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Kebijakan ini secara berdampak pada industri fintech p2p lending. Dengan outstanding pinjaman sebesar Rp60,41 triliun pada Januari 2024, pelaku usaha menerima pendapatan operasional mencapai Rp1,10 triliun.
Sedangkan pada Januari 2023 dengan outstanding pinjaman sebesar Rp51,02 triliun, fintech p2p lending mengantongi pendapatan operasional sebesar Rp998,79 miliar. Dengan kata lain, secara bisnis, outstanding pinjaman naik 18,40 persen (yoy), tapi pendapatan operasional yang diperoleh hanya naik 10,69 persen (yoy).
Di sisi lain, fintech p2p lending juga tidak bisa leluasa untuk menyalurkan pinjaman kepada borrower. Kini, melalui SEOJK 19/2023, mereka mesti lebih hati-hati dan bijaksana. Terlebih, calon borrower yang tidak punya pendapatan sudah seharusnya tidak lolos untuk menerima pinjaman dari fintech p2p lending.
“OJK terus memperhatikan perkembangan laba/rugi dari fintech p2p lending. Namun demikian, pada dasarnya industri ini masih berkembang secara dinamis,” jelas Agusman.