KABARBURSA.COM - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dengan kode saham BBRI, tengah menghadapi tekanan jual signifikan. Para investor asing ramai-ramai menjual saham mereka dan pergi meninggalkan BRI.
Dalam beberapa waktu terakhir, saham BBRI mengalami penurunan yang cukup tajam. Seminggu terakhir ini, sahamnya turun 2,68 persen dan merosot 12,63 persen dalam sebulan terakhir.
Kemarin saja, 19 November 2024, meskipun ada sedikit pemulihan dengan kenaikan harian sebesar 0,23 persen menjadi Rp4.360, kinerja saham BBRI masih jauh dari level tertinggi yang tercatat pada Maret 2024, yang mencapai Rp6.450.
Aksi jual besar-besaran dari investor asing yang mencatatkan net sell sebesar Rp33 triliun sejak April hingga pertengahan November 2024, menjadi sorotan utama dalam kinerja saham BBRI.
Salah satu alasan utama dari aksi jual besar-besaran ini adalah kecemasan mengenai potensi rasio kredit bermasalah (NPL) yang meningkat, terutama di segmen mikro, yang merupakan inti dari bisnis BRI.
Kekhawatiran itu sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 2024. Para investor meyakini bahwa NPL BBRI bisa mengalami lonjakan lebih lanjut, seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat dan dampak dari kondisi ekonomi yang menantang, seperti deflasi yang terjadi sejak Mei 2024.
Meskipun secara keseluruhan NPL BBRI tercatat membaik menjadi 2,9 persen pada kuartal III 2024, dari 3,07 persen pada periode yang sama di tahun sebelumnya, kekhawatiran tetap ada.
Hal tersebut dikarenakan pada triwulan I 2024 NPL sempat membengkak hingga 3,27 persen akibat kesulitan yang dihadapi oleh segmen mikro, yang selama ini menjadi segmen utama bagi BRI.
Peningkatan Rasio Kredit Macet
Peningkatan rasio kredit macet (NPL) di segmen mikro menjadi perhatian utama. NPL mikro BBRI telah meningkat tajam sejak sebelum pandemi Covid-19. Diketahui, terjadi kenaikan 1,18 persen pada 2019 menjadi 3,03 persen pada September 2024.
Segmen mikro memang menjadi tulang punggung utama BRI, namun dengan perlambatan daya beli masyarakat, khususnya di sektor UMKM, membuat kualitas portofolio kredit BBRI semakin tertekan.
Selain itu, pertumbuhan kredit BBRI juga terpantau melambat. Pada September 2024, kredit BBRI hanya tumbuh 8,2 persen secara tahunan, dengan kredit mikro hanya mencatatkan pertumbuhan 6,4 persen.
Pertumbuhan 6,4 persen ini jelas jauh di bawah rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi yang bisa mencapai lebih dari 10 persen. Penurunan ini mencerminkan perlambatan ekonomi dan tantangan dalam segmen mikro, yang menjadi penyebab utama penurunan kinerja saham BBRI, baik dari segi profitabilitas maupun kualitas aset.
Langkah Penting Memperbaiki Kualitas Neraca
Menanggapi tekanan ini, Bank BRI telah mengambil sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas neraca dan menangani peningkatan NPL.
Beberapa upaya telah dilakukan, antara lain melalui pengetatan proses persetujuan kredit. Di sini, BBRI mulai lebih selektif dalam memberikan pinjaman, khususnya kepada sektor-sektor yang lebih berisiko tinggi.
BBRI juga melakukan peningkatan pengawasan kredit terhadap penggunaan kredit yang sudah disalurkan untuk meminimalisir risiko kredit bermasalah lebih lanjut.
Langkah penting selanjutnya adalah uji ketahanan atau stress testing. Uji ketahanan ini dilakukan untuk memastikan bahwa portofolio kreditnya dapat bertahan menghadapi tekanan ekonomi.
Bahkan, BBRI melakukan restrukturisasi dan hapus buku kredit yang tidak sehat untuk membersihkan portofolio kredit dari pinjaman yang bermasalah.
Juga, lelang jaminan dan penagihan untuk mengurangi kerugian akibat kredit bermasalah.
Dengan langkah-langkah tersebut, BRI berharap kualitas portofolio kredit dapat membaik, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pertumbuhan kredit dan mengembalikan sentimen positif investor, baik domestik maupun asing.
Bareksa: Harga Tertekan tetapi Masih Menarik
Mengutip analisis tim Bareksa, Rabu, 20 November 2024, meskipun saham BBRI mengalami tekanan jual asing yang cukup besar, beberapa analis melihat bahwa saham bank pelat merah ini memiliki valuasi yang menarik di level saat ini.
Rasio price to book value (PBV) BBRI saat ini berada di 2x, yang lebih rendah dari rata-rata 10 tahun sebelumnya yang berkisar antara 2,6x hingga 2,8x. Hal ini menunjukkan bahwa harga saham BBRI saat ini mungkin relatif murah dibandingkan dengan nilai buku perusahaan.
Pada masa pandemi Covid-19, rasio PBV sempat tertekan di bawah level 2x akibat lonjakan NPL. Namun, dengan upaya perbaikan kualitas kredit yang sedang dilakukan, serta proyeksi perbaikan di masa depan, PBV yang lebih rendah bisa menunjukkan potensi upside jika kinerja perusahaan kembali membaik.
Selain itu, BRI dikenal dengan kebijakan dividen yang royal, dengan dividend yield diperkirakan mencapai 7 persen pada tahun 2024. Imbal hasil dividen yang menarik ini menambah daya tarik saham BBRI di mata investor, terutama bagi mereka yang mencari investasi jangka panjang dengan pendapatan pasif yang stabil.
Katalis untuk Perubahan Tren
Masih mengutip analisis tim Bareksa, jika kualitas kredit BBRI dapat membaik dan pertumbuhan kredit kembali menunjukkan tren positif, maka sentimen negatif yang disebabkan oleh foreign outflow bisa segera berbalik.
Tren jual asing bisa berakhir dan investor asing yang sebelumnya meninggalkan BBRI berpotensi kembali, bahkan berbalik menjadi pembeli.
Faktor makroekonomi juga akan berperan penting. Jika ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan, khususnya di sektor UMKM yang merupakan segmen inti bagi BRI, maka prospek pertumbuhan kredit bisa kembali menguat.
Peningkatan daya beli masyarakat dan recovery sektor mikro dapat memberikan katalis positif bagi kinerja BBRI, yang pada gilirannya akan mendukung pemulihan harga saham.
Saham BBRI mengalami penurunan tajam akibat foreign outflow, yang disebabkan oleh kekhawatiran atas peningkatan NPL, khususnya di segmen mikro yang sangat terpengaruh oleh kondisi ekonomi yang melambat.
Meskipun demikian, dengan langkah-langkah yang diambil oleh manajemen untuk memperbaiki kualitas kredit dan upaya restrukturisasi portofolio, prospek jangka panjang BBRI tetap menjanjikan.
Valuasi saham BBRI yang lebih rendah dari rata-rata dan yield dividen yang tinggi bisa menjadi daya tarik bagi investor jangka panjang, meskipun dalam jangka pendek saham ini mungkin masih tertekan oleh sentimen negatif.
Jika kualitas kredit membaik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali pulih, maka saham BBRI berpotensi mengalami rebound dan kembali menarik minat investor, baik domestik maupun asing.(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak, membeli, atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analisis atau sekuritas yang bersangkutan, dan Kabarbursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian investasi yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.