Logo
>

Hak Ekonomi dan Kebebasan Sipil, PR Berat untuk Prabowo-Gibran

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Hak Ekonomi dan Kebebasan Sipil, PR Berat untuk Prabowo-Gibran

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghadapi banyak tantangan, terutama perihal hak-hak sipil dan politik. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan salah satu perhatian utama adalah menyusutnya ruang kebebasan berekspresi serta masih terampasnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya komunitas lokal serta masyarakat adat.

    "Jika pemerintahan yang baru benar-benar serius dengan pernyataan terkait pentingnya Indonesia bebas dari diskriminasi, hal ini juga harus mencakup perlindungan terhadap mereka yang sangat vokal atau kritis terhadap kebijakan negara. Presiden baru harus segera mencabut atau merevisi peraturan yang bermasalah yang digunakan untuk memberangus hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai," kata Usman menanggapi pidato Prabowo saat pelantikan di hadapan MPR, Ahad, 20 Oktober 2024.

    Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beberapa regulasi yang perlu dicabut antara lain Undang-Undang Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta UU Mineral dan Batubara. Peraturan-peraturan ini dianggap bermasalah dan perlu ditinjau ulang.

    Dalam pidato pelantikannya, Prabowo menekankan bangsa yang merdeka adalah bangsa dengan rakyat yang bebas dari ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, penindasan, dan penderitaan. Untuk mewujudkan hal tersebut, mantan Menteri Pertahanan ini diharapkan segera mengambil langkah efektif agar ancaman, serangan, dan intimidasi terhadap pembela hak asasi manusia serta kelompok rentan lainnya dapat diusut secara independen dan transparan. Mereka yang bertanggung jawab harus diadili sesuai hukum yang berlaku.

    "Belum lagi persoalan kekerasan aparat, baik polisi maupun TNI. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sangat berat. Tapi, kalau memang Presiden serius mewujudkan masyarakat tanpa penindasan seperti pidatonya, harus ada akuntabilitas dari kekerasan yang dilakukan aparat," ujar Usman.

    Akui Hak Masyarakat Adat dan Selesaikan Konflik Agraria

    AMAN mendesak pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk segera menangani konflik agraria yang tercatat ratusan dalam satu dekade terakhir dan mengakui hak masyarakat adat atas wilayah mereka.

    Pemerintah juga diharapkan menghentikan perampasan lahan untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan bisnis yang mendukung pengusaha besar atau pemodal asing di atas tanah adat.

    Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan pihaknya menginginkan pemerintahan baru ini membawa perubahan signifikan dengan menempatkan keadilan bagi masyarakat adat sebagai prioritas. Hal ini penting agar pembangunan nasional bisa lebih inklusif, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Masyarakat adat menghadapi tantangan yang semakin besar, terutama terkait kebijakan pembangunan yang sering mengabaikan hak-hak mereka atas tanah, hutan, dan sumber daya alam di wilayah adat. Data AMAN mencatat dalam 10 tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektare. Konflik ini berdampak pada kriminalisasi lebih dari 925 warga masyarakat adat, di mana 60 di antaranya mengalami kekerasan oleh aparat, bahkan satu orang kehilangan nyawa.

    UU Masyarakat Adat

    Menurut Rukka, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama masa kerja. UU ini akan menjadi landasan hukum kuat yang mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, sekaligus memberi kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini terabaikan.

    AMAN juga meminta agar masyarakat, termasuk petani, nelayan, perempuan, dan kelompok rentan lainnya dilibatkan dalam penyusunan kebijakan terkait masyarakat adat. Ini penting karena perencanaan pembangunan berdampak langsung pada mereka.

    Pemerintah pun diharapkan untuk meninjau ulang kasus-kasus di mana masyarakat adat ditangkap dan diadili karena memperjuangkan haknya. Lebih jauh, AMAN menuntut jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan pembela hak-hak mereka. Supremasi hukum harus ditegakkan tanpa berpihak pada kepentingan korporasi besar atau modal.

    Konflik yang Tak Kunjung Usai

    Mewujudkan pengakuan atas tanah leluhur bukan perkara mudah bagi masyarakat adat. Dengan jumlah anggota komunitas yang relatif sedikit, mereka kerap dihadapkan pada kekuatan besar yang sulit dilawan. Di satu sisi, masyarakat adat harus berurusan dengan kekuasaan dan birokrasi pemerintah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi ekspansi korporasi besar. Sering kali, dua kekuatan ini justru bekerja sama untuk mengikis hak atas tanah adat.

    Tekanan ini membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan di tanah milik leluhur mereka sendiri. Banyak wilayah adat belum diakui negara, yang membatasi akses masyarakat adat ke tanahnya. Padahal, bagi mereka, tanah dan lingkungan sekitar memiliki peran yang sangat penting.

    Bagi masyarakat adat, tanah ulayat diibaratkan seperti ibu. Dari tanah dan ekosistemnya, mereka mendapatkan sumber kehidupan. Pemahaman ini membuat tanah sangat sentral dalam kehidupan mereka, sehingga menjaga kelestarian lingkungan adalah hal prinsipil.

    Tanah dan alam harus tetap lestari agar generasi mendatang bisa hidup sejahtera tanpa kekurangan kebutuhan dasar. Setidaknya, kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan bisa terpenuhi dari alam sekitar.

    Sayangnya, hingga kini upaya untuk mendapatkan pengakuan tanah adat belum sepenuhnya berhasil. Salah satu indikatornya adalah luasan hutan adat yang sudah diakui pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, baru sekitar 76.000 hektar hutan adat yang diakui resmi, melalui 89 surat keputusan yang mencakup wilayah bagi sekitar 44.000 kepala keluarga.

    Pengakuan ini belum memuaskan mayoritas masyarakat adat. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas hutan adat seharusnya mencapai 1,09 juta hektar. Artinya, baru sekitar 6 persen dari total wilayah adat yang diakui pemerintah.

    Kondisi ini meningkatkan potensi konflik, terutama terkait sengketa tenurial (hak lahan) di wilayah adat yang belum diakui. Konflik tenurial ini terjadi karena adanya perbedaan klaim atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan lahan serta sumber daya alam. Beberapa contoh konflik tenurial melibatkan gugatan dari masyarakat adat atas penguasaan lahan adat yang digunakan untuk tambang, perkebunan, industri, pembangunan infrastruktur, dan proyek strategis negara.

    Data dari KLHK mencatat adanya 567 konflik tenurial di Indonesia hingga 2020. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Sumatera Utara, Riau, dan Jambi, masing-masing menyumbang lebih dari 60 konflik. Jika dihitung berdasarkan kepulauan, Sumatera menjadi wilayah dengan konflik tenurial terbanyak. Pada 2020, tercatat 320 kasus atau sekitar 56 persen dari total konflik terjadi di sana, diikuti oleh Jawa (18 persen) dan Kalimantan (13 persen).

    Dari total 567 kasus, 513 di antaranya sudah dalam proses penyelesaian. Namun, yang benar-benar rampung baru 126 kasus, di mana tanahnya sudah dialihkan atau dikembalikan. Sebagian besar konflik (52 persen) masih dalam tahap kajian.

    Adapun proporsi kasus yang sudah mencapai tahap mediasi atau perjanjian tercatat kurang dari 10 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tenurial membutuhkan waktu yang tidak singkat dan negosiasi yang panjang. Karena itu, diperlukan regulasi tegas dari pemerintah untuk mencegah konflik akibat tumpang tindih klaim lahan hutan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).