KABARBURSA.COM – Harga batu bara dunia mayoritas menguat pada perdagangan Rabu, 18 Desember 2024, dini hari WIB karena didorong oleh ketergantungan China yang masih besar terhadap energi fosil meskipun negara tersebut memiliki komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca.
Harga batu bara Newcastle untuk Desember 2024 turun tipis USD0,25 menjadi USD129 per ton. Namun, kontrak Januari 2025 melesat USD1,6 ke USD129,5 per ton, sementara Februari 2025 terkerek lebih tinggi USD1,85 menjadi USD131,5 per ton.
Di pasar Rotterdam, tren penguatan lebih merata. Harga batu bara untuk Desember 2024 naik USD0,45 ke USD111,75 per ton, sementara kontrak Januari 2025 melompat USD2 ke USD100,65 per ton. Pada Februari 2025, harga terus menanjak USD1,85 menjadi USD109,45 per ton.
Antara Emisi dan Keamanan Energi
China, yang selama ini menyatakan komitmennya untuk beralih ke energi ramah lingkungan, ternyata masih mempertahankan kecepatan produksi batu bara. Prioritas utama China adalah keamanan energi, memastikan pasokan tetap stabil untuk menghindari krisis energi domestik.
Produksi batu bara yang masif tidak hanya menjawab permintaan energi di dalam negeri yang terus meningkat, tetapi juga menjadi langkah antisipasi terhadap potensi gangguan pasokan. Dalam jangka pendek, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu tampaknya belum bisa lepas dari ketergantungan batu bara.
Kenaikan harga batu bara juga dipengaruhi oleh lonjakan harga gas alam di pasar global. Kontrak berjangka gas alam TTF Dutch untuk Januari 2025, yang menjadi acuan perdagangan gas di Eropa, meroket 4,3 persen ke level 42,01 euro per megawatt-jam. Kenaikan harga gas mendorong peralihan sementara ke batu bara sebagai alternatif yang lebih ekonomis, turut menopang reli harga batu bara di pasar global.
Dilema Batu Bara dan Energi Bersih
Salah satu tantangan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor batu bara adalah wacara transisi energi. Meski prosesnya tidak berlangsung secara ekstrem, namun para analis sepakat jika wacana ini bakal menurunkan permintaan batu bara secara signifikan.
Analis Pasar Modal dari mikirduit.com Surya Rianto menilai transisi energi baru benar-benar terealisasi pada 2035. Menurutnya, masih ada waktu 10 tahun lagi sebelum permintaannya di pasaran bakal turun seiring waktu.
“Kalau dalam jangka pendek mustahil kita tiba-tiba langsung beralih dari PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara menuju bahan bakar yang renewable karena itu costly banget,” kata Surya kepada kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Menurutnya, perpindahan atau transisi energi dari yang tidak ramah lingkungan seperti coal itu tidak gratis. Pemerintah dan stakeholder terkait yang menginginkan adanya transisi energi harus mengeluarkan uang besar demi mewujudkan transisi energi.
“Kondisi APBN juga lagi nggak bagus. Yang ada ekonomi kita kacau. Jasi saya masih ekspektasi di tahun 2035 atau 2040 itu bertahap dan baru kemudian mulai gencar,” kata Surya.
Surya menilai, selama lima tahun ke depan belum ada ancaman berarti di sektor batu bara. Besaran kebutuhan atau demand di pasaran masih sama dengan sebelumnya. Meski demikian, kestabilan sektor batu bara ini bukan tanpa ancaman. Karena, menurutnya, saat ini permintaan ekspor batu bara sudah mulai melandai akibat kondisi ekonomi global akibat perang. Ancaman berikutnya adalah ancaman suku bunga tinggi.
“Gara-gara suku bunga tinggi kan ekonomi global cenderung turun. Sebenarnya harapannya pas suku bunga turun ini dan 2025 bakal turun lebih banyak lagi nanti pada 2026 dengan hargapan ada kenaikan permintaan dari batu bara dengan asumsi ekonomi China pulih,” ujarnya.
Ketika ekonomi global membaik, kebutuhan industri juga turut meningkat. Ketika ekonomi pulih, harga batu bara dapat terkerek naik meski tidak mungkin bisa menembus USD400 seperti halnya yang terjadi pada 2022. Kendati demikian, ia memprediksi harganya bakal mencapai USD150-170 DM.
PLTU Face Down
Wacana penghapusan batu bara di dalam negeri juga sedang gencar dibicarakan dengan menyuarakan PLTU face down. Sub Kerja Sama EBT, Direktur Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE, Ira Ayuthia Herdiani mengungkapkan bahwa salah satu upaya menuju NZE 2060 PLTU face down atau atau menghentikan operasional PLTU. Penghentian ini dilakukan karena selama ini operasional PLTU masih menggunakan batu bara.
“Jadi di sini dikatakan face down adalah untuk PLTU yang sudah ada dan tentunya pengembangan EBT. Selain itu, pengembangan energi terbarukan, baik off grid dan on grid serta pengembangan energi baru seperti nuklir, hidrogen dan amonia,” kata Ira.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.