Logo
>

Harga Dunia Stabil Tinggi, Minyak Kurang Cuan di Indonesia

Ditulis oleh KabarBursa.com
Harga Dunia Stabil Tinggi, Minyak Kurang Cuan di Indonesia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Para pengusaha hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia menyadari bahwa meskipun harga minyak dunia relatif stabil dan tinggi, itu tidak otomatis menghasilkan keuntungan bagi industri tersebut.

    Menurut Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, hal ini disebabkan oleh mayoritas lapangan migas di Indonesia yang sudah mencapai tahap "mature field" atau lapangan yang sudah tua, di mana produksi secara alami sudah menurun.

    Dalam situasi seperti ini, kenaikan harga minyak tidak secara langsung meningkatkan produksi di hulu, karena Indonesia masih memerlukan investasi tambahan dan adopsi teknologi untuk meningkatkan produksi.

    “Harga minyak tinggi sejak 2022 karena perang Ukraina dan Rusia, tetapi produksi kita tetap turun. Memang tidak segampang memutar keran dan produksi meningkat. Semua butuh investasi dan waktu,” ujar Moshe saat dihubungi, Selasa 23 April 2024.

    Harga minyak Brent untuk penyelesaian Juni naik 0,1 persen menjadi USD87,10 per barel pada pukul 9:47 pagi di Singapura. West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni juga menguat 0,1 persen menjadi USD81,99 per barel.

    Sayangnya, saat harga minyak dunia sedang menguat, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang saling berkaitan untuk mendongkrak produksi di hulu migas.

    Pertama, investasi di bidang migas yang makin ketat seiring dengan jumlah investor yang berkurang.

    Kedua, investasi di Indonesia menjadi kurang menarik seiring dengan kondisi lapangan yang sudah tua karena meningkatkan biaya operasional serta eksplorasi. Selain itu, investor juga dihadapkan dengan risiko kegagalan yang tinggi dengan kondisi tersebut.

    “[Sebelumnya] onshore sekarang sudah mulai ke offshore. Tadinya lebih dangkal sekarang sudah yang potensial lebih dalam. Itu kan semua membutuhkan biaya investasi yang lebih tinggi,” ujar Moshe.

    “Jadi Indonesia sekarang bersaing dengan negara tetangga, Vietnam, Malaysia dan Thailand untuk tarik investor.”

    Terlebih, perusahaan energi seperti Chevron dan Exxon sudah mendeklarasikan untuk keluar dari Asia Tenggara dan melirik kawasan lain yang lebih potensial serta memiliki keekonomian dan kontrak yang lebih menarik.

    Moshe menambahkan Exxon mulai fokus di Guyana, Amerika Selatan karena potensi yang minyak yang masih besar dan kontrak yang menguntungkan.

    Dalam kaitan itu, Moshe menilai Indonesia harus menyeimbangkan biaya investasi yang besar dengan memberikan insentif yang menarik serta regulasi yang terbuka bagi investor.

    Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan insentif dari sisi kontrak, memberikan kepastian hukum serta memberikan kepastian pengembalian investasi.  “Harus terkompensasi, kalau tidak mereka [investor] akan lihat negara lain," terangnya.

    Untuk diketahui, realisasi produksi siap jual atau lifting minyak pada 2023 resmi meleset jauh dari target, dengan capaian hanya 612.000 barel per hari (bpd) pada 31 Desember dari bidikan sejumlah 660.000 bpd.

    Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan target lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 pun dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.

    Dwi menyebut peninjauan ulang terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.

    Dwi mengeklaim SKK Migas telah berkomitmen untuk mencapai target tersebut, bahkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sudah melakukan penandatanganan komitmen untuk mewujudkan target tersebut. Namun, upaya tersebut terhambat dengan adanya pandemi Covid-19.

    “Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,”  ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, belum lama ini.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi