Logo
>

Harga Jual Dolar AS Tembus ke Angka Rp16.500

Ditulis oleh KabarBursa.com
Harga Jual Dolar AS Tembus ke Angka Rp16.500

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah mengalami peningkatan dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa bank bahkan telah menetapkan harga jual dolar AS di angka Rp16.500.

    Berdasarkan data yang dihimpun dari situs resmi beberapa bank pada Senin, 17 Juni 2024, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menetapkan harga jual dolar AS di layanan konter sebesar Rp16.510, sementara harga beli ditetapkan sebesar Rp16.210.

    Untuk e-rate, BCA menetapkan harga jual dolar AS sebesar Rp16.410 dan harga beli sebesar Rp16.310.

    PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) menjual dolar AS seharga Rp16.535 di layanan konter berdasarkan data 17 Juni, dengan harga beli sebesar Rp16.285.

    Untuk e-rate, BRI menetapkan harga jual sebesar Rp16.473 dan harga beli sebesar Rp16.373.

    PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) menjual dolar AS di layanan konter seharga Rp16.590 pada hari ini, dengan harga beli sebesar Rp16.240.

    Berikut ini adalah daftar lengkap nilai tukar dolar AS di beberapa bank, dikutip dari situs resmi masing-masing bank:

    BCA

    e-Rate

    • Beli: Rp16.310
    • Jual: Rp16.410

    TT Counter

    • Beli: Rp16.210
    • Jual: Rp16.510

    BRI

    e-Rate

    • Beli: Rp16.373
    • Jual: Rp16.473

    TT Counter

    • Beli: Rp16.285
    • Jual: Rp16.535

    BNI

    Special Rate

    • Beli: Rp16.341
    • Jual: Rp16.491

    TT Counter

    • Beli: Rp16.240
    • Jual: Rp16.590

    Bank Mandiri

    Special Rate

    • Beli: Rp16.285
    • Jual: Rp16.305

    TT Counter

    • Beli: Rp16.150
    • Jual: Rp16.500

    BTN

    TT Counter

    • Beli: Rp16.175
    • Jual: Rp16.425

    CIMB Niaga

    • Beli: Rp16.411
    • Jual: Rp16.422.

    Nilai Tukar Rupiah ke Dolar AS

    Nilai tukar Dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat. Mata uang Negeri Paman Sam masih bertahan di level Rp16.000-an.

    Berdasarkan data dari Google Finance pada Senin, 17 Juni 2024, dolar AS tercatat berada di posisi Rp16.438,90 pada pukul 04.27 UTC, meskipun mengalami penurunan sebesar 0,29 persen. Sebelumnya, dolar AS sempat mencapai level Rp16.486,50, mendekati angka Rp16.500.

    Data dari RTI menunjukkan bahwa dolar AS berada di level Rp16.395, dengan penguatan sebesar 0,01 persen. Reuters juga mencatat nilai tukar dolar AS di level yang sama, yaitu Rp16.395.

    Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih relatif rendah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Depresiasi rupiah lebih kecil dibandingkan dengan Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang.

    "Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di level Rp16.300 perlu dilihat dari akhir tahun lalu dan dibandingkan dengan negara lain. Depresiasi kita sangat rendah dibandingkan dengan Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang," ujar Perry di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 14 Juni 2024.

    Perry juga menekankan bahwa rupiah tetap stabil karena Bank Indonesia terus melakukan berbagai langkah stabilisasi nilai tukar. Langkah-langkah tersebut termasuk intervensi pasar, penarikan portofolio asing ke dalam negeri, dan penarikan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam.

    Dampak Mengerikan Jika Dolar AS Terus Perkasa

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengalami tekanan yang sangat kuat. Saat ini, nilai tukar dolar AS mendekati level Rp16.400. Jika tren ini berlanjut, masyarakat Indonesia akan merasakan dampaknya.

    Para ekonom mengungkapkan bahwa dampak langsung dari kenaikan nilai tukar dolar AS adalah meningkatnya harga barang-barang di pasar domestik, terutama karena banyak barang yang masih diimpor.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan bahwa konsumen akan menghadapi kenaikan harga barang. Para produsen juga akan kesulitan karena banyak bahan baku yang diimpor mengalami kenaikan harga.

    “Jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, harga barang impor akan meningkat, menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi konsumen yang membeli barang impor. Industri yang mengimpor bahan baku juga akan merasakan dampaknya,” jelas Faisal.

    Faisal menyoroti beberapa sektor yang rentan terhadap inflasi akibat melemahnya nilai tukar rupiah. Sektor farmasi yang memproduksi obat-obatan, sektor otomotif yang memproduksi kendaraan, dan sektor elektronik yang memproduksi barang-barang seperti handphone dan laptop sangat rentan terhadap inflasi.

    “Sektor yang paling besar ketergantungannya pada impor seperti farmasi, manufaktur otomotif, dan elektronik sangat rawan terhadap inflasi,” tambah Faisal.

    Industri tekstil juga kemungkinan akan terdampak karena masih banyak bahan baku kapas yang diimpor. Selain itu, industri pangan juga berisiko tinggi karena banyak bahan pangan yang masih diimpor.

    Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, juga mengatakan bahwa penguatan kurs dolar AS akan membuat harga barang di Indonesia semakin mahal, terutama harga energi seperti bahan bakar minyak (BBM).

    “Inflasi impor akan meningkat, harga BBM biasanya yang akan terdampak paling parah,” ungkap Nailul Huda.

    Jika inflasi tinggi di masyarakat, Nailul Huda memperingatkan, maka daya beli masyarakat akan menurun, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia.

    “Inflasi domestik akan meningkat signifikan. Daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan kemiskinan akan meningkat,” ujarnya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan menghadapi peningkatan pengeluaran, terutama untuk belanja yang terkait dengan kebutuhan impor seperti energi dan pertahanan.

    Selain itu, pembayaran cicilan utang yang banyak menggunakan mata uang dolar AS akan menjadi lebih mahal, termasuk bunga utangnya.

    Hal ini akan mempersempit ruang fiskal anggaran negara, sehingga belanja pemerintah untuk sektor ekonomi riil atau pelayanan publik akan berkurang.

    “Belanja APBN akan meningkat karena asumsi dolar AS digunakan untuk belanja pemerintah yang terkait impor dan cicilan utang serta bunga menjadi lebih tinggi. Ruang fiskal akan mengecil dan sektor riil akan terdampak karena belanja pemerintah berkurang,” kata Esther. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi