KABARBURSA.COM - Harga minyak mengalami kenaikan sekitar 2 persen pada Rabu, 17 Juli 2924, didorong oleh penurunan stok minyak mentah mingguan Amerika Serikat (AS) yang lebih besar dari perkiraan dan melemahnya dolar AS. Kenaikan ini berhasil mengimbangi tanda-tanda pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah di China.
Harga minyak mentah Brent naik sebesar USD1,35 (1,6 persen) menjadi USD85,08 per barel pada pukul 17.33 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik USD2,09 (2,6 persen) menjadi USD82,85 per barel. Pada Selasa, 16 Juli 2024, Brent ditutup pada level terendah sejak 14 Juni dan WTI pada level terendah sejak 21 Juni.
Selisih harga antara Brent dan WTI menyempit menjadi sekitar USD3,65 per barel, yang merupakan level terendah sejak Oktober 2023. Penyempitan selisih harga ini menunjukkan bahwa perusahaan energi memiliki sedikit alasan untuk mengeluarkan biaya tambahan guna mengirim kapal ke AS untuk mengambil minyak mentah untuk diekspor.
Di AS, Badan Informasi Energi (EIA) melaporkan bahwa perusahaan energi menarik 4,9 juta barel minyak mentah dari penyimpanan selama minggu yang berakhir pada 12 Juli. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan 30 ribu barel yang diperkirakan oleh analis dalam jajak pendapat Reuters, serta penurunan 4,4 juta barel menurut laporan dari kelompok perdagangan American Petroleum Institute (API).
Dalam berita penyulingan AS, selisih harga diesel dan 3-2-1, yang mengukur margin keuntungan penyulingan, turun ke level terendah sejak Desember 2021 dan Januari 2024. Pelemahan dolar AS juga turut mendukung kenaikan harga minyak, setelah dolar mencapai level terendah 17 minggu terhadap sekeranjang mata uang utama. Dolar yang lebih lemah dapat meningkatkan permintaan minyak karena membuat komoditas yang dihargai dalam dolar menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Di sisi lain, China, sebagai pengimpor minyak terbesar di dunia, melihat pertumbuhan ekonominya melambat menjadi 4,7 persen pada kuartal kedua. Angka ini merupakan pertumbuhan paling lambat sejak kuartal I-2023, yang membatasi kenaikan harga minyak mentah.
"Data terbaru menunjukkan perlambatan pertumbuhan di Amerika Serikat, kawasan euro, dan China. Bank sentral semakin dekat ke titik di mana mereka akan memiliki ruang untuk memangkas suku bunga secara nyata," kata analis di unit Penelitian Citi Citigroup dalam sebuah laporan.
Di AS, pembangunan rumah keluarga tunggal turun ke level terendah dalam delapan bulan pada Juni di tengah suku bunga hipotek yang lebih tinggi, menunjukkan bahwa pasar perumahan kemungkinan menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua.
Pada Rabu, pejabat The Fed mengatakan bahwa bank sentral ‘lebih dekat’ untuk memangkas suku bunga mengingat perbaikan inflasi dan pasar tenaga kerja yang lebih seimbang. Pernyataan ini membuka jalan bagi kemungkinan pengurangan pertama biaya pinjaman pada September. The Fed sebelumnya menaikkan suku bunga secara agresif pada 2022 dan 2023 untuk meredam lonjakan inflasi.
Biaya pinjaman yang meningkat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak. Namun, suku bunga yang lebih rendah dapat meningkatkan permintaan minyak di masa mendatang.
KabarBursa sempat memberitakan, harga minyak turun lebih dari 1 persen pada Selasa, 16 Juli 2024 sehingga melanjutkan penurunan 3 hari berturut-turut. Penyebabnya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi China yang kemungkinan menurunkan permintaan. Namun, penurunan ini dibatasi oleh harapan bahwa The Fed mungkin akan mulai memangkas suku bunga utamanya pada bulan September.
Menurut Reuters, harga minyak mentah Brent turun USD1,12 atau 1,3 persen menjadi USD83,73 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD1,15 atau 1,4 persen, menjadi USD80,76 per barel.
Dennis Kissler, wakil presiden senior perdagangan di BOK Financial, menyatakan bahwa data ekonomi China yang lebih lemah terus muncul karena program dukungan pemerintah yang mengecewakan, dengan banyak kilang di China mengurangi produksi akibat lemahnya permintaan bahan bakar.
“Data ekonomi China yang lebih lemah menimbulkan keraguan apakah pelaku pasar terlalu optimistis mengenai prospek permintaan minyak China,” tulis ahli strategi pasar IG Yeap Jun Rong dalam emailnya.
Produksi kilang China turun 3,7 persen pada bulan Juni dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi kilang turun selama tiga bulan karena pemeliharaan yang direncanakan. Sementara margin pemrosesan yang lebih rendah dan permintaan bahan bakar yang lesu mendorong pabrik-pabrik independen untuk mengurangi produksi.
"Data China termasuk pengoperasian kilang dan impor minyak mentah tidak mendukung. Tetapi pertumbuhan permintaan di tempat lain masih sehat,” kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Ekonomi terbesar kedua di dunia ini tumbuh 4,7 persen pada April-Juni, menurut data resmi, yang merupakan laju paling lambat sejak kuartal pertama 2023 dan meleset dari perkiraan 5,1 persen dalam sebuah jajak pendapat.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.