Logo
>

Harga Minyak Dunia Turun di Tengah Kekhawatiran Oversupply

Harga minyak dunia terseret ketidakpastian pasar, dari perang dagang hingga ancaman resesi global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Dunia Turun di Tengah Kekhawatiran Oversupply
Harga minyak dunia terseret ketidakpastian pasar, dari perang dagang hingga ancaman resesi global. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia terus mengalami tekanan seiring kekhawatiran pasar terhadap potensi oversupply serta ketidakpastian seputar perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Meskipun harga minyak dunia sempat naik tipis pada Jumat, secara keseluruhan harga minyak dunia tetap mencatatkan penurunan sepanjang pekan ini.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, 26 April 2025, Brent crude futures, patokan harga minyak dunia, ditutup naik 32 sen di level USD66,87 per barel (sekitar Rp1.116.748), tapi masih mencatatkan kerugian mingguan sebesar 1,6 persen. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate alias WTI ikut terangkat 23 sen menjadi USD63,02 per barel (sekitar Rp1.052.608), meski tetap melemah 2,6 persen dalam sepekan. Harga minyak dunia yang berusaha bangkit ini masih belum mampu menghapus tekanan sentimen pasar.

    Cerita harga minyak dunia makin seru setelah China mengumumkan pembebasan beberapa produk Amerika dari tarif tinggi. Banyak yang melihat ini sebagai sinyal perang dagang mulai mencair. Sayangnya, euforia itu cepat dingin setelah Beijing membantah klaim Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang sempat sesumbar negosiasi sudah berjalan. Alhasil, harga minyak dunia kembali bergerak dalam ketidakpastian.

    Menurut analis Saxo Bank, Ole Hansen, pelaku pasar sekarang semakin skeptis harga minyak dunia bakal naik dalam waktu dekat. Alasannya karena perang dagang masih berlanjut di antara para konsumen minyak terbesar dunia, ditambah spekulasi OPEC+ mungkin bakal mempercepat peningkatan produksi mulai Juni. Tekanan terhadap harga minyak dunia terasa makin berat karena faktor-faktor ini menekan optimisme pasar.

    Di awal bulan ini saja, harga minyak dunia sudah sempat jatuh ke level terendah dalam empat tahun. Pemicunya adalah kecemasan soal melemahnya permintaan global akibat tarif, serta aksi jual besar-besaran di pasar keuangan. Risiko makin terasa, antara lain ekonomi yang melemah bakal bikin permintaan minyak dunia semakin surut, sementara pasokan justru berpotensi melimpah.

    Belum cukup sampai di situ, sejumlah anggota OPEC+ juga mulai bersuara keras supaya peningkatan produksi minyak dipercepat lagi pada bulan Juni. Kalau ini terjadi, harga minyak dunia jelas bakal semakin sulit untuk bangkit. Apalagi, kalau perang di Ukraina benar-benar berakhir, pasokan minyak dari Rusia bisa mengalir lebih deras ke pasar global, makin menambah beban harga minyak dunia.

    Ada juga kabar soal pertemuan tiga jam antara Presiden Rusia Vladimir Putin dengan utusan Presiden Trump, Steve Witkoff, pada Jumat kemarin. Kata Yuri Ushakov, ajudan Kremlin, pertemuan ini konstruktif dan berhasil mempersempit perbedaan soal upaya mengakhiri perang Ukraina. Kalau deal tercapai, jangan heran kalau harga minyak dunia makin tertekan oleh pasokan baru.

    Sebagai tambahan cerita tentang masa depan harga minyak dunia, data dari Baker Hughes mencatat jumlah rig pengeboran minyak di Amerika Serikat naik dua unit menjadi 483 rig dalam sepekan yang berakhir 25 April. Artinya, potensi tambahan produksi semakin besar, dan ini lagi-lagi berisiko membanjiri pasar serta menekan harga minyak dunia.

    Ramalan Harga Minyak Dunia Versi Goldman Sachs

    Prediksi soal harga minyak dunia makin panas setelah Goldman Sachs angkat bicara. Dalam catatan tertanggal 7 April, bank investasi top ini memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent bakal bertengger di USD62 per barel (sekitar Rp1.036.019) pada Desember 2025, lalu turun ke USD55 (sekitar Rp919.995) setahun berikutnya. Sementara minyak WTI diprediksi bakal mencapai USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025 dan anjlok ke USD51 (sekitar Rp854.139) pada Desember 2026.

    Tapi tenang, ramalan ini datang dengan dua asumsi. Pertama, ekonomi Amerika Serikat sukses menghindari resesi berkat pemangkasan tarif yang cukup besar, yang dijadwalkan berlaku 9 April. Kedua, pasokan dari delapan negara anggota OPEC+ naik secara moderat, dengan tambahan produksi 130.000 sampai 140.000 barel per hari di bulan Juni dan Juli. Dengan dua asumsi ini, harga minyak dunia diprediksi tetap sedikit stabil meski tetap rawan goyang.

    Sayangnya, kalau Amerika Serikat kejeblos resesi seperti siklus biasanya, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia bakal jatuh lebih dalam. Dalam skenario ini, harga Brent diprediksi turun ke USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025, lalu lanjut longsor ke USD50 (sekitar Rp835.450) pada Desember 2026. Ancaman resesi ini bikin outlook harga minyak dunia makin seram buat para investor.

    Masih belum cukup dramatis? Kalau terjadi pembalikan tajam kebijakan tarif, harga minyak dunia bisa saja lebih tinggi dari prediksi. Namun, situasi yang lebih realistis adalah skenario suram: Goldman Sachs bahkan sampai memangkas lagi proyeksi harga rata-rata tahunan Brent dan WTI untuk 2026. Risiko resesi yang makin gede dan potensi suplai OPEC+ yang lebih banyak jadi penyebabnya. Semua ini membuat harga minyak dunia sulit berharap banyak.

    Ancaman Perang Dagang Makin Membebani Harga Minyak Dunia

    Masalah makin pelik setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Senin memperkeruh suasana dengan menggencarkan ancaman tarif baru terhadap China. Belum selesai, Uni Eropa ikut nimbrung dengan rencana balasan tarifnya sendiri. Perang dagang yang makin panas ini meningkatkan kekhawatiran resesi global yang bisa menyeret harga minyak dunia lebih dalam.

    Dalam skenario perlambatan pertumbuhan global, sambil tetap memakai asumsi dasar OPEC+, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent akan turun ke USD54 per barel (sekitar Rp902.086) pada Desember 2025 dan ke USD45 (sekitar Rp751.905) pada Desember 2026. Harga minyak dunia yang makin tertekan ini jadi mimpi buruk baru bagi pasar energi global.

    Lebih ekstrem lagi, kalau dunia benar-benar mengalami pelambatan ekonomi plus terjadi pembatalan total pemangkasan produksi OPEC+, harga minyak dunia bisa benar-benar ambruk. Dalam skenario ini, Brent diprediksi bakal meluncur ke bawah USD40 per barel (sekitar Rp668.360) pada akhir 2026. Bayangin aja, harga minyak dunia anjlok sedalam itu—dampaknya bisa kacau balau buat negara-negara penghasil minyak.

    Sementara itu, harga minyak dunia pada Selasa pagi pukul 06.03 GMT tercatat masih berusaha bertahan. Brent diperdagangkan di sekitar USD64,72 per barel (sekitar Rp1.080.635), sedangkan WTI di USD61,26 per barel (sekitar Rp1.022.789). Walau kelihatan stabil, tekanan dari perang dagang dan kekhawatiran suplai berlebih masih jadi hantu yang terus mengintai harga minyak dunia.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).