Logo
>

Harga Minyak Labil, Brent Masih di Bawah USD70 per Barel

Harga minyak dunia bergerak fluktuatif pada Jumat, 7 Maret 2025, dini hari WIB dengan Brent tetap bertahan di bawah USD70 per barel.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Labil, Brent Masih di Bawah USD70 per Barel
Ilustrasi: Dua pekerja kilang minyak Pertamina berjalan di area fasilitas pengolahan minyak. Foto: Dok. BPH Migas.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia bergerak fluktuatif pada Jumat, 7 Maret 2025, dini hari WIB dengan Brent tetap bertahan di bawah USD70 per barel di tengah tekanan dari tarif dagang Amerika Serikat, Kanada, dan China serta rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, kontrak Brent ditutup naik tipis 16 sen atau 0,2 persen ke USD69,46 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 5 sen atau 0,1 persen menjadi USD66,36 per barel.

    Sehari sebelumnya, harga Brent sempat menyentuh USD68,33, level terendah sejak Desember 2021. Sentimen negatif ini muncul setelah laporan menunjukkan persediaan minyak mentah AS naik lebih besar dari perkiraan, ditambah dengan kebijakan OPEC+ yang memutuskan menambah kuota produksi untuk pertama kalinya sejak 2022 serta tarif baru AS yang berlaku sejak Selasa lalu.

    Menurut Wakil Presiden Senior di BOK Financial, Dennis Kissler, pasar minyak masih bergejolak karena kombinasi beberapa faktor. “OPEC menambah pasokan bulan depan, ada perkembangan positif soal perdamaian Rusia-Ukraina, dan kebijakan tarif AS yang terus berubah-ubah. Semua ini membuat perdagangan minyak tetap labil,” ujarnya.

    Di sisi lain, Rusia menegaskan negosiasi perdamaian dengan Ukraina harus tetap menjaga kepentingan jangka panjang mereka dan tidak akan mundur dari wilayah yang telah mereka kuasai.

    Sementara itu, Presiden AS Donald Trump kembali mengubah kebijakan dagangnya dengan mengecualikan tarif 25 persen untuk barang impor dari Kanada dan Meksiko selama satu bulan dalam kerangka perjanjian perdagangan Amerika Utara. Kebijakan ini semakin membuat pelaku pasar dan investor bingung karena ketidakpastian yang terus berlanjut.

    Seorang sumber Reuters yang mengetahui diskusi internal Gedung Putih menyebutkan bahwa Trump juga bisa saja menghapus tarif 10 persen pada impor energi dari Kanada, termasuk minyak mentah dan bensin, asalkan sesuai dengan perjanjian dagang yang sudah ada.

    Iran dan OPEC+ Jadi Faktor Penentu

    Dari sisi kebijakan luar negeri, AS berencana meningkatkan tekanan sanksi maksimum terhadap Iran untuk mempercepat kejatuhan ekspor minyak dan menekan mata uang negara tersebut. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan AS akan meninjau kembali semua pengecualian sanksi yang masih berlaku bagi Iran. Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mendesak Irak untuk mengurangi ketergantungan energinya pada Iran secepat mungkin.

    Menurut analis energi dari TP ICAP, Scott Shelton, risiko terhadap permintaan minyak saat ini lebih besar dibanding risiko pasokan karena tambahan produksi dari OPEC+. “Cadangan produksi memang bisa menutupi kehilangan pasokan, tapi tidak ada solusi instan untuk permintaan. Jika sanksi semakin ketat dan ekonomi melambat, permintaan minyak bisa semakin terpuruk,” jelasnya.

    Keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi pada Senin lalu memang mengejutkan pasar. Namun, menurut salah satu delegasi OPEC+, reaksi pasar yang menjatuhkan harga minyak terkesan berlebihan. Ia berharap harga minyak bisa segera berangsur pulih secara bertahap setelah pasar mencermati perkembangan terbaru.

    Indonesia Bangun Kilang Rp206 Triliun

    Ilustrasi: Salah satu kilang minyak adalah Kilang Balongan. Foto: Dok.PGN.

    Sementara harga minyak global terus berfluktuasi, Indonesia tampaknya tak mau terus-terusan jadi pelanggan setia minyak impor. Baru-baru ini pemerintah menyatakan akan membangun proyek kilang raksasa senilai USD12,5 miliar (Rp206 triliun). Pemerintah ingin mengurangi ketergantungan impor, memperkuat ketahanan energi, dan punya kapasitas pengolahan minyak yang lebih mumpuni.

    Proyek ini bakal menghasilkan 531.500 barel per hari dan menjadikannya salah satu kilang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kapasitas pengolahan minyak di dalam negeri. “Kami akan membangun kilang dengan kapasitas kurang lebih 500.000 barel per hari, Insyaallah,” ujar Bahlil, dikutip dari Oil Price.

    Kebijakan ini sejalan dengan ambisi Presiden Prabowo Subianto yang ingin mewujudkan kemandirian energi. Indonesia, yang dulunya eksportir minyak, kini harus mengimpor dalam jumlah besar demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

    Proyek ini didanai sebagian oleh Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga investasi yang baru dibentuk pemerintah. Jika berjalan sesuai rencana, kilang ini bisa menghemat hingga 182,5 juta barel minyak per tahun dan mengurangi belanja impor hingga USD16,7 miliar (Rp275 triliun).

    Langkah ini dianggap strategis mengingat harga minyak global yang tak menentu, kebijakan OPEC+ yang suka berubah-ubah dan perang dagang yang bikin harga komoditas fluktuatif. Dengan kilang sendiri, Indonesia bisa lebih leluasa mengelola kebutuhan minyaknya tanpa terlalu tergantung pada pasar luar.

    Mesin Pencipta Lapangan Kerja

    Selain soal minyak, proyek ini juga bakal menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pemerintah memperkirakan 63.000 lapangan kerja langsung akan tercipta, plus 315.000 pekerjaan tidak langsung di berbagai sektor. Ini bukan sekadar proyek energi, tapi juga investasi politik yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Kilang ini merupakan salah satu dari 21 proyek hilirisasi energi yang masuk daftar prioritas pemerintah tahun 2025 dengan total investasi USD40 miliar (Rp660 triliun).

    Sementara itu, produksi minyak Indonesia terus menurun. Dari yang pernah mencapai 1,6 juta barel per hari di tahun 1990-an, kini produksi RI anjlok ke bawah 600.000 barel per hari. Upaya menggandeng ExxonMobil untuk meningkatkan produksi sedang dilakukan, tapi realisasinya masih butuh waktu.

    Strategi paling realistis adalah mengoptimalkan minyak mentah yang masih bisa diproduksi dan mengolahnya sendiri di dalam negeri. Daripada terus-terusan bergantung pada impor yang mahal, Indonesia memilih jalur kilang untuk kembali masuk ke permainan minyak global.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).