KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah Amerika Serikat melemah pada Sabtu, 31 Mei 2025, dini hari WIB, di tengah ekspektasi OPEC+ akan memutuskan peningkatan produksi pada Juli mendatang yang melebihi proyeksi sebelumnya.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, kontrak Brent untuk pengiriman Juli ditutup turun USD0,25 atau 0,39 persen di level USD63,90 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun USD0,15 atau 0,25 persen menjadi USD60,79 per barel, setelah sempat jatuh lebih dari satu dolar di sesi perdagangan awal.
Kontrak Brent Juli sendiri akan jatuh tempo pada Jumat kemarin. Kontrak Agustus—yang lebih aktif diperdagangkan—juga melemah USD0,71 atau 1,12 persen ke posisi USD62,64 per barel. Dengan harga di kisaran ini, kontrak acuan bulanan menuju penurunan mingguan lebih dari 1 persen.
Harga mulai tergelincir setelah laporan Reuters menyebut bahwa OPEC+ kemungkinan akan membahas kenaikan produksi Juli yang lebih besar dari keputusan sebelumnya untuk menambah 411 ribu barel per hari pada Mei dan Juni.
“Apa yang sedang direncanakan OPEC+ tampaknya tidak terlalu mendukung pasar minyak,” ujar Matt Smith, analis utama Kpler untuk kawasan Amerika.
Lonjakan suplai global yang kini mencapai surplus 2,2 juta barel per hari ikut memperbesar tekanan. Dalam catatan analis JPMorgan, situasi ini membutuhkan penyesuaian harga untuk memicu respons dari sisi pasokan dan mengembalikan keseimbangan pasar.
Mereka memperkirakan harga akan bergerak dalam rentang saat ini sebelum akhirnya turun ke kisaran tinggi USD50-an pada akhir tahun.
Harga juga ditekan oleh unggahan Presiden Donald Trump di Truth Social yang menyiratkan ancaman perubahan tarif atas barang impor dari China. Postingan itu muncul di tengah kabar pengadilan banding AS memutuskan mengaktifkan kembali tarif besar-besaran setelah sehari sebelumnya sempat diblokir oleh pengadilan perdagangan.
“Pesan Trump soal China yang gagal menjaga gencatan tarif, ditambah kabar dari OPEC+, membuat harga minyak tertekan,” kata analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn.
Dari sisi produksi, data mingguan dari Baker Hughes menunjukkan perusahaan energi AS memangkas jumlah rig minyak dan gas untuk pekan kelima berturut-turut—terpanjang sejak September 2023—ke level terendah sejak November 2021.
Jumlah total rig kini berkurang 37 unit dari tahun lalu atau setara 6 persen. Rig minyak turun empat unit menjadi 461, sementara rig gas naik satu menjadi 99.
JP Morgan: Harga Minyak Masih bisa Tergelincir Hingga 2026
Meski meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China sempat menyulut secercah harapan di pasar minyak, JP Morgan memilih tak ikut bersorak. Alih-alih ikut optimistis, bank investasi asal Wall Street itu justru memperkirakan harga minyak masih akan terus menyusut dalam dua tahun ke depan.
Dalam laporan riset terbarunya, JP Morgan memproyeksikan harga minyak Brent bakal stagnan di kisaran USD66 per barel (Rp1,08 juta) pada 2025, dan turun lebih jauh ke USD58 (Rp951 ribu) per barel pada 2026. Ramalan ini tak berubah meski pasar global tengah bergairah menyambut gencatan tarif antara dua ekonomi terbesar dunia.
Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut dorongan sentimen saat ini belum cukup untuk mendorong harga kembali menembus level USD70-an. Menurut dia, arah kebijakan Presiden Donald Trump justru berperan menjaga harga minyak tetap rendah sebagai cara meredam tekanan inflasi menjelang pemilu.
“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.
Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.(*)