Logo
>

Harga Minyak Melemah, Pasar Waspadai Banjir Pasokan

Harga minyak dunia turun usai negosiasi nuklir AS-Iran menunjukkan kemajuan dan ekspektasi OPEC+ menaikkan produksi makin menguat.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Melemah, Pasar Waspadai Banjir Pasokan
Harga minyak turun sekitar 1 persen. Pasar khawatir pasokan global melonjak jika OPEC+ naikkan produksi dan sanksi Iran dicabut. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia ditutup melemah pada perdagangan Rabu, 28 Mei 2025, dini hari WIB di tengah kekhawatiran pasar soal potensi lonjakan pasokan global. Tekanan datang dari kemajuan negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat, serta ekspektasi bahwa OPEC+ akan menaikkan produksi dalam waktu dekat.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, minyak Brent turun 65 sen (1 persen) ke USD64,09 (sekitar Rp1,05 juta) per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 64 sen (sekitar 1,04 persen) ke USD60,89 (Rp998 ribu) per barel.

Kelompok negara pengekspor minyak dan sekutunya, atau OPEC+, diperkirakan tidak akan mengubah kebijakan produksinya dalam rapat Rabu ini. Namun, tiga delegasi menyebut pertemuan lanjutan pada Sabtu kemungkinan menyepakati percepatan kenaikan produksi minyak mulai Juli.

Sementara itu, delegasi Iran dan AS baru saja menutup putaran kelima pembicaraan di Roma pekan lalu. Meski ada sinyal kemajuan terbatas, sejumlah isu krusial masih menjadi ganjalan, termasuk soal pengayaan uranium Iran.

“OPEC+ kemungkinan akan menyepakati kenaikan produksi tambahan minggu depan. Jika itu terjadi, dan ditambah pasokan dari Iran akibat kesepakatan nuklir, harga minyak akan makin tertekan,” kata Wakil Presiden Senior di BOK Financial, Dennis Kissler.

Jika perundingan nuklir gagal, sanksi terhadap Iran akan terus berlaku dan membatasi ekspor minyaknya. Tapi jika terjadi kesepakatan, pasokan dari Iran bisa kembali membanjiri pasar.

Dari sisi pasokan domestik, survei awal Reuters memperkirakan stok minyak mentah AS naik 500 ribu barel minggu lalu.

Namun, ada juga faktor pendukung harga. Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menunda pembicaraan tarif dengan Uni Eropa hingga 9 Juli menghapus kekhawatiran jangka pendek soal penurunan permintaan bahan bakar. Wall Street pun menguat berkat jeda tarif ini.

Analis UBS, Giovanni Staunovo, mengatakan meredanya ketegangan dagang membantu menahan penurunan harga, meski ruang kenaikan tetap terbatas hingga OPEC+ benar-benar memberi kepastian pada Sabtu nanti.

Di sisi lain, kebakaran hutan di Alberta, Kanada, membuat sebagian fasilitas produksi minyak dan gas harus ditutup sementara, ikut menopang harga.

JP Morgan: Harga Minyak Masih bisa Tergelincir Hingga 2026

Meski meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China sempat menyulut secercah harapan di pasar minyak, JP Morgan memilih tak ikut bersorak. Alih-alih ikut optimistis, bank investasi asal Wall Street itu justru memperkirakan harga minyak masih akan terus menyusut dalam dua tahun ke depan.

Dalam laporan riset terbarunya, JP Morgan memproyeksikan harga minyak Brent bakal stagnan di kisaran USD66 per barel (Rp1,08 juta) pada 2025, dan turun lebih jauh ke USD58 (Rp951 ribu) per barel pada 2026. Ramalan ini tak berubah meski pasar global tengah bergairah menyambut gencatan tarif antara dua ekonomi terbesar dunia.

Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut  dorongan sentimen saat ini belum cukup untuk mendorong harga kembali menembus level USD70-an. Menurut dia, arah kebijakan Presiden Donald Trump justru berperan menjaga harga minyak tetap rendah sebagai cara meredam tekanan inflasi menjelang pemilu.

“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.

Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).