Logo
>

Harga Minyak Menguat, Proyeksi Dipangkas Sachs-JPMorgan

Harga minyak dunia naik tipis didorong lonjakan impor China dan kebijakan tarif AS, tapi analis besar seperti Goldman Sachs dan JP Morgan kompak memangkas proyeksi harga minyak.

Ditulis oleh Syahrianto
Harga Minyak Menguat, Proyeksi Dipangkas Sachs-JPMorgan
Ilustrasi sebuah titik pengeboran minyak di tengah laut. (Foto: Pexels/Umar Affan)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM -  Harga minyak mentah dunia ditutup sedikit menguat pada perdagangan Senin, 14 April 2025, seiring lonjakan impor minyak mentah China dan kabar soal pengecualian tarif dari Amerika Serikat untuk sejumlah produk elektronik. Namun, kekhawatiran soal dampak perang dagang yang berkepanjangan membatasi laju penguatan harga.

    Seperti dikutip dari Reuters, minyak Brent ditutup naik 12 sen, atau 0,2 persen, menjadi USD64,88 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 3 sen menjadi USD61,53 per barel.

    Pada Jumat, 11 April 2025 malam, pemerintahan Presiden AS Donald Trump memberikan pengecualian dari tarif tinggi untuk ponsel pintar, komputer, dan beberapa barang elektronik lainnya yang sebagian besar diimpor dari China. Ini menjadi bagian dari rangkaian kebijakan yang menetapkan tarif, lalu membatalkannya kembali, menambah ketidakpastian bagi investor dan pelaku bisnis.

    Trump menyatakan pada Minggu bahwa ia akan mengumumkan tarif baru atas impor semikonduktor dalam waktu sepekan ke depan.

    Sementara itu, data yang dirilis Senin menunjukkan bahwa impor minyak mentah China pada Maret melonjak tajam dibanding dua bulan sebelumnya dan naik hampir 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini didorong oleh pasokan dari Iran dan pulihnya pengiriman dari Rusia.

    Namun demikian, harga Brent dan WTI telah merosot sekitar USD10 per barel sejak awal bulan. Para analis pun memangkas proyeksi harga minyak seiring meningkatnya ketegangan perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

    Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam laporan bulanan yang dirilis Senin menyebutkan bahwa permintaan minyak global pada 2025 diperkirakan hanya akan naik 1,3 juta barel per hari—turun 150 ribu barel dari proyeksi bulan sebelumnya. Tarif dagang disebut sebagai salah satu penyebabnya.

    “Revisi turun proyeksi permintaan dari OPEC menyoroti betapa suramnya prospek pasar akibat tarif dan ketidakpastian lainnya,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital.

    “Pasar masih terus mencoba menghitung dampak tarif dan eskalasi hubungan dengan China ini,” lanjutnya.

    Goldmand Sachs hingga JPMorgan Pangkas Proyeksi Harga Minyak 

    Goldman Sachs memperkirakan rata-rata harga Brent berada di level USD63 dan WTI di USD59 untuk sisa tahun 2025. Sementara untuk 2026, Brent diperkirakan akan rata-rata di USD58 dan WTI di USD55.

    Goldman juga memperkirakan bahwa permintaan minyak global pada kuartal keempat 2025 hanya akan tumbuh 300 ribu barel per hari secara tahunan. Penurunan permintaan ini diperkirakan paling terasa di sektor petrokimia.

    UBS memangkas proyeksi harga Brent sebesar USD12 menjadi USD68 per barel. Sementara itu, WTI diperkirakan diperdagangkan di level USD64 per barel. 

    JPMorgan juga menurunkan proyeksi harga minyak untuk 2025 dan tahun berikutnya, mengutip peningkatan produksi dari OPEC+ serta melemahnya permintaan.

    Dalam laporan riset yang dirilis Senin, 14 April 2025, bank investasi asal AS itu menurunkan estimasi harga minyak Brent untuk tahun 2025 menjadi USD 66 per barel dari sebelumnya USD 73. Untuk tahun 2026, proyeksi diturunkan menjadi USD 58 dari USD 61. Sementara itu, untuk minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), JP Morgan merevisi target harga 2025 ke USD 62 dari USD 69 dan 2026 menjadi USD 53 dari sebelumnya USD 57.

    Sebagai perbandingan, pada Senin ini harga Brent diperdagangkan di kisaran USD 65 per barel, sedangkan WTI berada di level USD 61 per barel.

    JP Morgan kini memperkirakan permintaan minyak global hanya akan naik sebesar 0,8 juta barel per hari (mbd) sepanjang tahun ini, dengan pertumbuhan yang melambat menjadi rata-rata 0,3 mbd pada kuartal ketiga.

    “Volume produksi yang lebih tinggi dari aliansi OPEC+ menunjukkan adanya perubahan dalam pola respons mereka. Jika dikombinasikan dengan permintaan yang lemah, hal ini akan menciptakan surplus besar dalam neraca pasar dan menekan harga Brent ke bawah USD 60 menjelang akhir tahun,” tulis JP Morgan dalam catatannya.

    Analis JP Morgan juga memperingatkan bahwa pasar minyak masih berada di bawah tekanan dari kemungkinan resesi ringan yang diperkirakan mencapai 80 persen, ditambah dengan tambahan produksi sebesar 1 juta barel per hari dari OPEC.

    Menurut JP Morgan, meskipun OPEC+ diprediksi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar pada 2025, menjaga kestabilan harga Brent di level USD 60 pada 2026 akan membutuhkan langkah signifikan. "Aliansi ini tidak hanya perlu membalikkan peningkatan produksi saat ini, tetapi juga melakukan pemangkasan lebih lanjut," sebut mereka.

    Saat ini, selisih harga Brent antara Desember 2025 dan Desember 2026 telah berbalik ke pola contango, menurut BMI, bagian dari Fitch Solutions. Dalam pasar contango, harga jangka pendek lebih rendah dibanding harga untuk bulan-bulan mendatang, mencerminkan kekhawatiran akan kelebihan pasokan.

    Di sisi lain, harga minyak juga didukung oleh pernyataan Menteri Energi AS Chris Wright pada Jumat, yang mengatakan bahwa Amerika Serikat dapat menghentikan ekspor minyak Iran sebagai bagian dari tekanan terhadap program nuklir Teheran.

    Iran dan AS dilaporkan mengadakan pembicaraan yang "positif" dan "konstruktif" di Oman pada Sabtu, dan sepakat untuk melanjutkan pertemuan pada pekan depan.

    Sementara itu, sentimen negatif datang dari rencana South Bow yang merinci dimulainya kembali pengoperasian pipa Keystone secara terkendali pada Senin, setelah kebocoran minyak pekan lalu memaksa penutupan jalur penting antara Kanada dan Amerika Serikat tersebut. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.