Logo
>

Harga Minyak Menguat Tipis, Ancaman Perang Tarif Masih Membayangi

Harga minyak mencatat kenaikan tipis di tengah kekhawatiran perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Investor waspada terhadap dampaknya pada permintaan global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Menguat Tipis, Ancaman Perang Tarif Masih Membayangi
Harga minyak naik tipis, namun ketegangan dagang AS-Tiongkok bisa tekan permintaan global dan menahan reli lebih lanjut. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia mencatat kenaikan terbatas pada perdagangan Senin, 26 Mei 2025, usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk memperpanjang tenggat waktu negosiasi dagang dengan Uni Eropa. Langkah itu setidaknya meredakan kekhawatiran pasar akan tarif besar-besaran dari AS yang bisa mengguncang ekonomi global.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, 26 Mei 2025, harga minyak Brent naik 18 sen atau 0,28 persen menjadi USD64,96 per barel (sekitar Rp1.065.344), sementara WTI menguat 17 sen ke USD61,70 per barel (sekitar Rp1.011.880).

Menurut analis pasar dari IG, Tony Sycamore, "Ada dorongan tipis pada harga minyak dan indeks saham AS pagi ini setelah Presiden Trump memperpanjang tenggat."

Trump sebelumnya menyatakan telah menyetujui permintaan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk memperpanjang waktu negosiasi dagang hingga 9 Juli karena Uni Eropa mengklaim butuh lebih banyak waktu untuk meraih kesepakatan yang adil.

Namun, Sycamore juga mengingatkan tajuk utama seputar tarif dan kekhawatiran fiskal masih menjadi kartu liar bagi sentimen risiko dan harga minyak sepanjang pekan ini.

Kenaikan harga minyak ini memperpanjang reli dari Jumat lalu, ketika Brent dan WTI sempat menguat 0,5 persen. Saat itu, pasar merespons positif mandeknya negosiasi nuklir antara AS dan Iran yang berarti kecil kemungkinan tambahan pasokan minyak Iran masuk ke pasar global dalam waktu dekat. Selain itu, para pembeli di AS menutup posisi menjelang libur panjang Memorial Day selama tiga hari.

Tambahan sentimen datang dari laporan perusahaan jasa energi Baker Hughes yang menyebut jumlah rig minyak aktif di AS turun delapan unit menjadi 465 rig—terendah sejak November 2021. Penurunan ini disinyalir akibat tekanan harga minyak yang tak kunjung tinggi.

Namun di sisi lain, ekspektasi bahwa OPEC+—aliansi negara-negara eksportir minyak dan sekutunya—akan menaikkan kuota produksi sebanyak 411.000 barel per hari (bph) untuk bulan Juli, menahan laju penguatan harga.

Menurut analis energi utama di DBS Bank, Suvro Sarkar, harga minyak memang sudah tertekan oleh strategi OPEC+ yang mempercepat kenaikan produksi serta situasi yang ia sebut sebagai “perang harga mini” di pasar minyak dunia.

“Setiap kenaikan harga kemungkinan akan kembali tertahan oleh keputusan OPEC+ dalam beberapa hari ke depan,” ujarnya.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa OPEC+ kemungkinan akan mencabut seluruh pemangkasan produksi sukarela sebesar 2,2 juta bph secara bertahap hingga akhir Oktober. Sebagai catatan, kelompok ini sudah menaikkan target produksi hampir 1 juta bph untuk periode April, Mei, dan Juni.

Analis pasar senior di Phillip Nova, Priyanka Sachdeva, bahkan memperingatkan pasar minyak bisa menghadapi risiko kelebihan pasokan pada paruh kedua 2025. Apalagi jika permintaan ikut melemah karena Trump kembali menggembar-gemborkan tarif universal lintas negara.

“Ini bisa menciptakan badai sempurna bagi penurunan harga minyak,” kata Sachdeva.

JP Morgan: Harga Minyak bakal Turun di 2025-2026

Meski harga minyak sempat rebound di tengah mencairnya ketegangan dagang Amerika Serikat dan China, lembaga riset JP Morgan tetap memproyeksikan tren pelemahan harga bakal berlanjut setidaknya hingga dua tahun ke depan.

Dalam laporan terbarunya, JP Morgan mematok proyeksi harga Brent hanya USD66 per barel pada 2025 dan makin turun ke level USD58 per barel pada 2026. Proyeksi ini ditegaskan tak berubah, meskipun pasar saat ini sedang didorong euforia atas jeda perang tarif dua raksasa ekonomi dunia.

Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut optimisme pasar tak cukup kuat untuk mengerek harga minyak ke level USD70-an seperti dulu. Pasalnya, pemerintahan Presiden Donald Trump justru lebih fokus menahan harga minyak agar tetap rendah guna menekan inflasi.

“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.

Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).