KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia nyaris tak bergerak pada perdagangan Rabu, 15 April 2025, dini hari WIB. Pelaku pasar masih mencerna sinyal tarik-ulur dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal tarif dagang, sembari mencoba memperkirakan seberapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, kontrak berjangka Brent turun tipis 21 sen atau 0,3 persen dan ditutup di level USD64,67 per barel (setara Rp1.064.055 dengan kurs Rp16.460), sementara West Texas Intermediate (WTI) juga terkoreksi 20 sen atau 0,3 persen menjadi USD61,33 per barel (Rp1.009.692).
Arah kebijakan dagang AS yang tak menentu membuat pasar energi global serba tak pasti. Bahkan, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan memangkas proyeksi permintaan pada hari Senin. Tak lama berselang, Selasa pagi, giliran Badan Energi Internasional (IEA) yang memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini bakal jadi yang paling lambat dalam lima tahun terakhir—dipicu kekhawatiran dampak ekonomi dari perang dagang AS-China.
Bank-bank besar pun mulai menyesuaikan proyeksi. UBS, BNP Paribas, dan HSBC serempak memangkas prediksi harga minyak global untuk tahun ini. Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyebutkan bahwa jika perang dagang makin memanas dan memicu resesi parah di AS serta perlambatan tajam di China, maka harga Brent bisa terjerumus di kisaran USD40 hingga USD60 per barel dalam beberapa bulan mendatang.
Kekhawatiran terhadap tarif Trump, ditambah rencana peningkatan pasokan dari OPEC+ (yang mencakup Rusia dan sekutunya), telah membuat harga minyak turun sekitar 13 persen sepanjang bulan ini.
Namun, ada sedikit angin segar setelah Trump menyatakan kemungkinan merevisi tarif 25 persen untuk impor mobil dari Meksiko dan negara lain. Gelber and Associates, firma konsultan energi, mencatat bahwa AS terus mengeluarkan kebijakan tarif yang saling bertentangan: dari membebaskan tarif elektronik—lalu mengumumkan itu hanya bersifat sementara—hingga mempertimbangkan perubahan tarif sektor otomotif.
Sementara itu, sejumlah eksekutif perbankan di AS memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang terus berubah bisa mengganggu daya beli konsumen secara serius. Meski data harga impor AS untuk Maret menunjukkan penurunan, terutama dari sektor energi, ada kekhawatiran bahwa tarif Trump justru dapat memicu inflasi. Bila inflasi meningkat, maka rencana The Fed untuk kembali memangkas suku bunga bisa terganggu.
Sebagai informasi, suku bunga yang lebih tinggi lazimnya digunakan untuk meredam inflasi, namun hal itu juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Di sisi lain, proyeksi dari EIA menunjukkan produksi minyak AS diperkirakan mencapai puncaknya pada 2027 di angka 14 juta barel per hari, dan bertahan sampai akhir dekade sebelum mulai menurun drastis.
Adapun data persediaan minyak AS dari American Petroleum Institute akan dirilis Selasa malam waktu setempat, diikuti data resmi dari EIA pada Rabu. Konsensus analis memperkirakan ada penarikan sekitar 1 juta barel dari stok minyak AS dalam sepekan yang berakhir 11 April, jauh berbeda dengan kenaikan 2,7 juta barel pada periode yang sama tahun lalu dan rata-rata kenaikan 4,2 juta barel dalam lima tahun terakhir (2020–2024).
Dengan berbagai dinamika ini, pasar energi seolah sedang menahan napas, menunggu kejelasan arah kebijakan Trump selanjutnya.
Di China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat, ekspor melonjak tajam pada Maret. Lonjakan ini terjadi karena banyak pabrik bergegas mengirimkan barang sebelum tarif terbaru dari AS diberlakukan. Namun, perang dagang yang kian memanas antara AS dan China kembali menggelapkan prospek industri manufaktur dan pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu.
Perdana Menteri China, Li Qiang, menyerukan kepada para eksportir negaranya untuk mulai mendiversifikasi pasar tujuan guna menghadapi perubahan eksternal yang ia sebut sebagai “sangat mendalam”. Ia juga menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat konsumsi domestik sebagai penyangga utama pertumbuhan.
Di sisi lain, Eropa pun terkena imbas. Bank Sentral Eropa (ECB) menyatakan bahwa sejumlah bank di kawasan euro telah mulai memperketat akses kredit pada kuartal lalu. Pengetatan ini diperkirakan berlanjut, seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi kawasan akibat kebijakan tarif AS yang tidak menentu.
Kondisi tersebut paling terasa di Jerman—ekonomi terbesar di Eropa. Di sana, tingkat kepercayaan investor untuk bulan April mengalami penurunan paling tajam sejak Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022. Sekali lagi, penyebab utamanya adalah ketidakpastian ekonomi yang dipicu oleh kebijakan tarif dari Washington.
Harga Minyak bisa Tetap Loyo Sampai 2026
EIA memperkirakan harga minyak akan terus berada dalam tren turun hingga paling tidak dua tahun ke depan. Dalam laporan terbarunya, EIA memproyeksikan harga rata-rata minyak Brent di tahun 2025 bakal bertahan di sekitar USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta), sebelum turun lebih lanjut ke USD74 (Rp1,22 juta) pada 2025 dan kemudian menyusut menjadi USD66 (Rp1,09 juta) pada 2026.
Pelemahan harga ini tidak semata disebabkan oleh ketegangan geopolitik atau langkah OPEC+ dalam mengatur pasokan. Yang lebih dominan justru lonjakan produksi dari negara-negara non-OPEC yang agresif menambah output. Ketidakseimbangan antara pasokan yang membengkak dan permintaan yang belum pulih sepenuhnya membuat harga berada dalam tekanan.
Meski demikian, masih ada peluang perubahan arah. Sanksi energi baru dari pemerintah Amerika Serikat terhadap Rusia yang diumumkan pada Januari 2025 bisa menjadi titik balik. Jika sanksi tersebut efektif menekan ekspor minyak Rusia secara signifikan, maka gangguan pasokan global bisa mendorong harga kembali naik.
Namun sejauh ini, potensi itu belum cukup kuat mengubah tren utama. EIA tetap melihat tekanan harga akan berlanjut dalam jangka menengah, didorong oleh lemahnya pemulihan permintaan energi global dan cadangan minyak yang masih melimpah di pasar internasional.(*)
Harga Minyak Nyaris Stagnan Efek Kebingungan Tarif Trump
Investor dibuat gelisah oleh kebijakan dagang Trump yang berubah-ubah. Harga minyak mendatar, pasar cemas permintaan global turun.
