Logo
>

Harga Minyak Rebound saat Trump Tahan Perang Dagang Hingga April

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Rebound saat Trump Tahan Perang Dagang Hingga April

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali menguat pada perdagangan Jumat pagi, 14 Februari 2025. Penguatan ini mengakhiri tren pelemahan minyak selama tiga pekan terakhir. Kenaikan ini didorong oleh meningkatnya permintaan bahan bakar serta ekspektasi rencana tarif dagang Presiden AS Donald Trump belum akan diberlakukan sampai April 2025. Masih ada waktu buat menghindari perang dagang global.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, pukul 10.00 WIB, harga minyak mentah Brent naik 19 sen ke level USD75,25 per barel (Rp1,2 juta), sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 12 sen menjadi USD71,41 per barel (Rp1,14 juta). Sepanjang pekan ini, Brent menguat 0,7 persen, sementara WTI naik 0,5 persen.

    Menurut laporan terbaru JPMorgan, permintaan minyak global saat ini melonjak ke 103,4 juta barel per hari, atau meningkat 1,4 juta barel per hari dibanding tahun lalu, Meski awalnya lesu, permintaan bahan bakar transportasi dan pemanas mulai meningkat pada pekan kedua Februari. Ini menunjukkan bahwa selisih antara konsumsi aktual dan proyeksi permintaan bakal segera menipis.

    “Penggunaan bahan bakar pemanas diperkirakan naik lagi. Selain itu, lonjakan harga gas di Eropa bisa mendorong peralihan dari gas ke minyak, sehingga meningkatkan permintaan,” tulis JPMorgan dalam laporannya.

    Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada Kamis kemarin memerintahkan pejabat ekonomi dan perdagangan untuk mengkaji tarif balasan terhadap negara-negara yang mengenakan tarif pada barang-barang AS. Hasil kajian ini diharapkan selesai sebelum 1 April 2025.

    Namun, potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina masih bikin para pelaku pasar waswas. Jika perang berakhir, sanksi terhadap Rusia bisa dicabut yang berarti pasokan energi global bakal bertambah.

    Pekan ini, Trump juga meminta pejabat AS untuk mulai bernegosiasi soal penghentian perang di Ukraina. Ini terjadi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyampaikan keinginannya untuk berdamai dalam percakapan telepon terpisah dengan Trump.

    Di media sosialnya, Trum berujar, “Kami ingin menghentikan jutaan kematian di perang Rusia-Ukraina,” tulis Trump di media sosialnya. Bahkan, katanya, Putin sampai mengadopsi slogan kampanyenya, “COMMON SENSE.”

    Masalahnya, meski Trump tampak antusias, Putin belum menunjukkan niat kuat untuk menyudahi perang yang ia yakini masih menguntungkan Rusia. Meskipun serangan Rusia di medan tempur lambat dan menimbulkan banyak korban, mereka tetap maju. Dari sisi Ukraina, gencatan senjata dengan kondisi saat ini berarti harus merelakan 20 persen wilayahnya jatuh ke tangan Rusia—sesuatu yang pasti sulit diterima.

    Trump juga berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, membahas peluang mencapai perdamaian dan perkembangan teknologi drone Ukraina. “Ukraina lebih dari siapa pun menginginkan perdamaian,” ujar Zelensky, dikutip dari The Wall Street Journal.

    Sebelumnya, Zelensky bertemu dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, di Kyiv. Salah satu topik yang mereka bahas adalah potensi kerja sama dalam eksplorasi mineral Ukraina, sesuatu yang Trump ingin jadikan sebagai imbal balik atas bantuan militer AS. Bessent pun menyerahkan dokumen kemitraan keamanan dan ekonomi yang ditargetkan bakal disepakati dalam konferensi keamanan di Munich pekan ini.

    Tapi ada satu hal yang bikin penasaran, Trump sama sekali tak menjelaskan peran Ukraina dalam negosiasi damai. Padahal, di era Biden, AS selalu menegaskan bahwa pembicaraan perdamaian harus melibatkan Ukraina.

    Tim negosiator AS dalam urusan Ukraina akan diisi oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Direktur CIA John Ratcliffe, Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz, dan utusan khusus Timur Tengah Steve Witkoff—yang kebetulan bertemu Putin saat menjemput tahanan AS, Marc Fogel, di Moskow.

    Putin sendiri bulan lalu menyatakan terbuka untuk berdialog dengan pemerintahan Trump soal perang ini. Menurutnya, Rusia ingin perdamaian jangka panjang yang menghormati kepentingan semua pihak di kawasan. Tapi di saat yang sama, ia tetap menegaskan operasi militernya bertujuan untuk melindungi kepentingan Rusia.

    Analis komoditas di Phillip Nova, Darren Lim, mengatakan semestinya perkembangan geopolitik antara Ukraina-Rusia bisa makin menekan harga minyak. Selain itu, ancaman Trump yang ingin memberlakukan tarif balasan terhadap negara-negara yang mengenakan bea masuk pada barang impor AS turut memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global.

    Laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) menyebut ekspor minyak Rusia bisa tetap berjalan jika ada celah untuk menghindari sanksi terbaru dari AS. Produksi minyak Rusia sendiri sedikit meningkat pada bulan lalu.

    Sebagai produsen minyak terbesar ketiga di dunia, Rusia selama tiga tahun terakhir menghadapi berbagai sanksi atas ekspor minyaknya akibat invasi ke Ukraina. Meski begitu, sanksi tersebut malah ikut menjaga harga minyak tetap tinggi karena mengurangi pasokan di pasar global.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).