KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah bertahan di level tinggi pada awal pekan ini, seiring investor menanti hasil dialog dagang antara Amerika Serikat dan China yang digelar di London pada Senin waktu setempat.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, 9 Juni 2025, Brent crude diperdagangkan datar di kisaran USD66,47 per barel (sekitar Rp1.089.108), sementara West Texas Intermediate (WTI) naik tipis satu sen ke USD64,59 (sekitar Rp1.058.276).
Kabar pertemuan antara tiga pejabat utama Donald Trump dan delegasi China menjadi pemicu utama penopang harga. Ini adalah pertemuan perdana dalam kerangka konsultasi ekonomi dan dagang AS-China yang disebut-sebut bisa mencairkan ketegangan dua ekonomi raksasa.
Sentimen makin kuat usai adanya sambungan telepon langka antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping pada Kamis lalu.
Perundingan ini muncul di tengah tekanan geopolitik akibat kontrol ekspor China atas logam tanah jarang atau rare earth yang telah mengguncang rantai pasok global. Harga minyak pun berhasil mencatatkan kenaikan mingguan pertama dalam tiga pekan terakhir.
Laporan ketenagakerjaan Amerika Serikat yang menunjukkan tingkat pengangguran tetap stabil di bulan Mei memperbesar peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Ini ikut memperkuat reli harga minyak pekan lalu.
Pagi ini, pasar juga mencermati data inflasi dari China yang menjadi indikator penting permintaan domestik di negara importir minyak terbesar dunia. Optimisme akan perjanjian dagang yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi lebih besar, sejauh ini mampu menutupi kekhawatiran atas kenaikan pasokan dari kelompok OPEC+.
Seperti diketahui, OPEC+ telah mengumumkan penambahan pasokan besar-besaran untuk Juli pada 31 Mei lalu. Menurut catatan HSBC, mereka memproyeksikan peningkatan pasokan ini akan dipercepat pada Agustus dan September sehingga dapat memberikan tekanan ke bawah terhadap proyeksi harga Brent di kuartal IV 2025 yang dipatok di USD65 (sekitar Rp1.066.000) per barel.
Riset Capital Economics juga menyatakan bahwa “kecepatan baru dalam penambahan produksi OPEC+ kemungkinan akan bertahan.”(*)