KABARBURSA.COM - Harga minyak terus mengalami penurunan pada Kamis, 26 September 2024, setelah laporan dari Financial Times menyebutkan bahwa Arab Saudi, sebagai pengekspor minyak terbesar dunia, berencana untuk mengabaikan target harga USD 100 per barel. Negara ini bersiap meningkatkan produksinya bersama anggota OPEC dan sekutunya pada Desember mendatang.
Berdasarkan laporan Reuters yang dikutip Jumat, 27 September 2024, harga minyak Brent turun USD 1,86 atau 2,53 persen menjadi USD 71,6 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga mengalami penurunan sebesar USD 2,02 atau 2,9 persen, ditutup di USD 67,67 per barel.
Laporan dari Financial Times mengungkapkan bahwa Arab Saudi berencana meninggalkan target harga tidak resmi sebesar USD 100 per barel, bersiap meningkatkan produksi minyak mentahnya. Informasi ini diperoleh dari sumber yang memahami situasi tersebut.
Dua sumber dari OPEC+ mengonfirmasi kepada Reuters bahwa kelompok produsen ini bersiap untuk kembali meningkatkan produksi pada Desember. Meskipun beberapa anggota berencana mengurangi produksi lebih besar sebagai kompensasi atas kelebihan produksi pada September dan bulan-bulan selanjutnya, dampak dari peningkatan ini diperkirakan akan kecil.
"Mereka bereaksi berlebihan terhadap laporan dari Financial Times," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Sementara itu, Tamas Varga, analis dari PVM, menjelaskan bahwa rencana untuk mengakhiri pengurangan produksi yang sedang berlangsung akan menambah sekitar 180 ribu barel minyak mentah per hari (bph) ke pasar setiap bulan. Meskipun hal ini akan sedikit memperlonggar keseimbangan minyak global, langkah tersebut akan mengurangi kapasitas produksi cadangan OPEC, yang dapat menyebabkan peningkatan stok pada 2025 dan memberi tekanan moderat pada harga.
"Yang lebih krusial adalah apakah langkah ini akan memicu perang pasokan di antara negara-negara anggota OPEC dan luar organisasi. Jika terjadi, penurunan harga yang tajam hingga USD 40 per barel bisa saja terjadi," ungkap Varga.
Turun 6 Persen
OPEC bersama sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, termasuk Rusia, telah memangkas produksi untuk menopang harga. Namun, harga minyak telah turun hampir 6 persen sepanjang tahun ini, akibat peningkatan pasokan dari produsen lain, terutama AS, serta lemahnya permintaan dari China.
"Tambahan pasokan dari Libya dan Arab Saudi menjadi faktor utama yang mendorong penurunan harga ini," ujar Ole Hansen, analis di Saxo Bank.
Dalam perkembangan terkait, PBB mengeluarkan pernyataan bahwa perwakilan dari wilayah timur dan barat Libya telah sepakat mengenai proses penunjukan gubernur bank sentral. Langkah ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan krisis terkait kendali atas pendapatan minyak yang selama ini mengganggu ekspor negara tersebut.
Ekspor minyak mentah Libya tercatat rata-rata 400 ribu barel per hari (bph) sepanjang September. Angka ini turun drastis dari lebih dari 1 juta bph yang tercatat pada Agustus, berdasarkan data pengiriman terbaru.
Namun, penurunan harga minyak dapat ditekan berkat kabar mengenai paket stimulus baru dari China. Pemerintah China, sebagai importir minyak mentah terbesar di dunia, berjanji pada Kamis untuk meningkatkan pengeluaran fiskal guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tahun ini. Komitmen ini memicu harapan pasar akan adanya stimulus tambahan, di luar langkah-langkah yang telah diumumkan sebelumnya dalam minggu ini.
Kembali Stabil
Harga minyak sebelumnya kembali stabil setelah sebelumnya turun di sesi perdagangan Rabu. Permintaan bahan bakar yang lebih tinggi serta penurunan persediaan minyak di Amerika Serikat, pengguna minyak terbesar dunia, membantu menyeimbangkan kekhawatiran akan permintaan global, terutama dari China.
Dilansir dari Reuters, Futures Brent naik 9 sen, atau 0,12 persen, menjadi USD73,55 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 4 sen, atau 0,06 persen, menjadi USD69,73 per barel pada pukul 00:58 GMT.
Pada Rabu, 25 September 2024, harga minyak anjlok lebih dari 2 persen karena kekhawatiran atas gangguan pasokan di Libya mereda, sementara kekhawatiran atas permintaan tetap tinggi meskipun ada rencana stimulus terbaru dari China. Harga minyak awalnya naik setelah pengumuman stimulus dari importir minyak terbesar dunia tersebut.
“Walaupun pengumuman paket stimulus baru dari pemerintah China bersamaan dengan kenaikan harga banyak komoditas, paket tersebut tidak mengubah secara signifikan prospek permintaan komoditas dari China,” tulis Capital Economics dalam sebuah catatan.
Tanda-tanda kembalinya minyak Libya ke pasar juga menekan harga, setelah delegasi dari Libya timur dan barat yang terpecah sepakat mengenai proses pengangkatan gubernur bank sentral. Langkah ini dianggap dapat membantu menyelesaikan krisis atas kontrol pendapatan minyak negara yang mengganggu ekspor.
Pasar pun mengabaikan data yang menunjukkan permintaan lebih kuat di Amerika Serikat, menurut catatan dari ANZ Research. Badan Administrasi Informasi Energi (EIA) melaporkan bahwa persediaan minyak AS turun lebih dari yang diperkirakan pekan lalu.
“Setiap pemulihan produksi di Libya akan kembali ke pasar yang sudah dipenuhi oleh kekhawatiran akan lemahnya permintaan di AS dan China,” tambah ANZ Research.
Namun, permintaan bensin di AS berdasarkan produk yang disuplai per minggu naik menjadi lebih dari 9 juta barel per hari (bpd) pekan lalu, menurut data EIA, sementara bahan bakar distilasi yang disuplai ke pasar naik menjadi lebih dari 4 juta bpd.
Terdampak Konflik Timur Tengah
Pada Selasa, 24 September 2024, harga minyak naik lebih dari 2 persen setelah adanya kabar tentang stimulus moneter dari Tiongkok, negara importir minyak terbesar dunia, serta kekhawatiran konflik di Timur Tengah bisa mengganggu pasokan regional. Sementara itu, badai di Amerika Serikat, produsen minyak mentah terbesar dunia, juga mengancam pasokan.
Futures Brent naik sebesar USD1,79 atau 2,4 persen menjadi USD75,69 per barel pada pukul 13.20 GMT. Sementara, minyak mentah AS (WTI) naik USD1,87 atau 2,7 persen menjadi USD72,24 per barel.
“Pasar minyak mentah sangat berharap pada langkah-langkah pelonggaran dari otoritas Tiongkok untuk mengatasi perlambatan ekonomi,” kata analis pasar IG, Tony Sycamore, dikutip dari Reuters, Selasa, 24 September 2024.
Sebelumnya, bank sentral Tiongkok mengumumkan stimulus terbesar sejak pandemi COVID-19 untuk mendongkrak kembali ekonomi yang terjebak dalam deflasi dan mencapai target pertumbuhan pemerintah.
Paket kebijakan yang lebih luas dari perkiraan, mencakup pendanaan tambahan dan pemotongan suku bunga, merupakan upaya terbaru Beijing untuk memulihkan kepercayaan setelah data ekonomi yang mengecewakan menimbulkan kekhawatiran akan perlambatan struktural jangka panjang.
“Pengumuman hari ini setidaknya akan mengurangi risiko penurunan harga minyak mentah,” ujar Sycamore.
Namun, agar lonjakan harga minyak bertahan, kebijakan moneter Tiongkok yang akomodatif perlu disertai dengan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan permintaan domestik, kata Kelvin Wong, analis senior di OANDA.(*)