KABARBURSA.COM - Harga minyak turun sekitar 1 persen pada Rabu, 19 Maret 2025, dini hari WIB setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin membahas langkah-langkah untuk mengakhiri perang di Ukraina yang sudah berlangsung tiga tahun. Diskusi ini membuka peluang pelonggaran sanksi terhadap ekspor bahan bakar Rusia, yang dapat meningkatkan pasokan minyak global.
Putin setuju dengan usulan Trump agar Rusia dan Ukraina menghentikan serangan terhadap infrastruktur energi masing-masing selama 30 hari. Meski demikian, beberapa analis menilai meskipun ada kesepakatan damai, peningkatan ekspor energi Rusia secara signifikan masih membutuhkan waktu.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, kontrak berjangka Brent turun 51 sen atau 0,7 persen menjadi USD70,56 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS merosot 68 sen atau 1 persen menjadi USD66,90 per barel.
Menurut data U.S. Energy Information Administration (EIA), produksi minyak Rusia saat ini sekitar 9,2 juta barel per hari (bph), lebih rendah dari 9,8 juta bph pada 2022 dan jauh di bawah rekor 10,6 juta bph pada 2016.
Selain faktor Rusia, kekhawatiran ekonomi akibat kebijakan tarif Trump juga menjadi tekanan bagi harga minyak. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperingatkan bahwa kebijakan tarif AS dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di AS, Kanada, dan Meksiko, yang berpotensi mengurangi permintaan energi global.
Di dalam negeri AS, sektor perumahan mencatat lonjakan pembangunan rumah tunggal pada Februari, setelah cuaca dingin mulai mereda. Namun, kenaikan biaya konstruksi akibat tarif dan kelangkaan tenaga kerja bisa menghambat pemulihan sektor ini.
Direktur Energi Berjangka di Mizuho, Bob Yawger, mengatakan risiko resesi semakin besar dengan tarif yang kini menjadi ancaman utama bagi ekonomi AS. Beberapa jenis tarif baru untuk berbagai negara dijadwalkan mulai berlaku pada 2 April.
Menurut analis dari firma energi Wood Mackenzie, harga rata-rata minyak Brent diperkirakan mencapai USD73 per barel pada 2025, turun USD7 dari proyeksi tahun 2024. Penurunan ini disebabkan oleh kebijakan tarif AS serta rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi.
Awal bulan ini, OPEC+—yang terdiri dari negara-negara OPEC dan sekutunya seperti Rusia—memutuskan untuk tetap melanjutkan peningkatan produksi minyak pada April. Langkah ini diperkirakan akan semakin menekan harga minyak dalam beberapa bulan mendatang.
Ketegangan Timur Tengah & Stok Minyak AS
Harga minyak sempat menyentuh level tertinggi dalam dua minggu di awal perdagangan Selasa, dipicu kekhawatiran bahwa ketegangan di Timur Tengah dapat mengganggu pasokan minyak global. Di sisi lain, harapan akan stimulus ekonomi di China dan Jerman memberikan sentimen positif bagi permintaan bahan bakar di dua negara ekonomi terbesar dunia.
Di Yaman, Presiden AS Donald Trump bersumpah akan terus menggempur kelompok Houthi yang didukung Iran, kecuali mereka menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Trump juga memperingatkan bahwa Iran akan bertanggung jawab atas serangan Houthi. Jika ketegangan meningkat dan AS mengambil tindakan terhadap Iran, atau jika Houthi menyerang produsen minyak Arab lainnya, pasokan minyak dunia bisa terganggu.
Data EIA melaporkan Iran memproduksi sekitar 3,3 juta barel minyak per hari (bph) pada 2024. Meski masih berada di bawah sanksi, ekspor minyak Iran relatif stabil di angka 1,7 juta bph, lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, menurut analis J.P. Morgan.
Sementara itu, serangan udara Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 400 orang. Serangan ini mengakhiri kebuntuan selama beberapa minggu terkait upaya perpanjangan gencatan senjata yang sebelumnya menghentikan pertempuran sejak Januari.
Sementara itu, para analis memperkirakan cadangan minyak AS bertambah sekitar 0,9 juta barel dalam pekan yang berakhir 14 Maret. Angka ini berbanding terbalik dengan penurunan stok sebesar 2 juta barel pada pekan yang sama tahun lalu dan rata-rata kenaikan 1,6 juta barel dalam lima tahun terakhir (2020-2024).
Jika stok minyak AS meningkat lebih dari ekspektasi, harga minyak bisa kembali tertekan. Namun, jika ketegangan Timur Tengah makin memanas, pasar bisa berbalik dan mendorong harga naik lebih tinggi.
Harga Minyak Diprediksi Turun hingga 2026
EIA memperkirakan harga rata-rata minyak Brent akan terus menurun dalam beberapa tahun ke depan. Dari USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta) di 2024, harga diproyeksi turun ke USD74 per barel (sekitar Rp1,22 juta) pada 2025, lalu merosot lagi ke USD66 per barel (sekitar Rp1,09 juta) di 2026.
Turunnya harga ini dipicu oleh pasokan minyak global yang tumbuh lebih cepat dibanding permintaan. Meski situasi geopolitik masih bergejolak dan OPEC+ tetap menahan produksi, peningkatan output dari negara-negara produsen lain membuat pasokan membanjir, sehingga harga cenderung melemah.
Namun, ada satu variabel yang belum sepenuhnya diperhitungkan: sanksi tambahan AS terhadap sektor minyak Rusia yang diumumkan pada 10 Januari 2025. Jika sanksi ini benar-benar berdampak signifikan pada ekspor minyak Rusia, keseimbangan pasokan global bisa terganggu dan harga minyak mungkin tidak turun secepat perkiraan.
Meskipun begitu, EIA tetap melihat tren penurunan harga akan bertahan hingga 2026. Penyebab utamanya adalah produksi dari negara-negara di luar OPEC+ yang terus meningkat, sementara pertumbuhan permintaan minyak global berjalan lebih lambat dibanding rata-rata sebelum pandemi. Dengan kondisi ini, stok minyak dunia diperkirakan akan terus menumpuk.
Tapi bukan berarti harga minyak akan anjlok begitu saja tanpa perlawanan. OPEC+ kemungkinan masih akan menerapkan pembatasan produksi di 2025 dan 2026 demi menahan penurunan harga lebih lanjut. Di sisi lain, jika harga minyak semakin murah, investasi dalam pengeboran minyak di AS juga bisa terhambat. Oleh karena itu, EIA memprediksi pertumbuhan produksi minyak AS di 2026 hanya akan meningkat sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya.(*)
Harga Minyak Turun, Damai Ukraina bikin Pasar Lebih Tenang
Harga minyak turun setelah diskusi damai Trump-Putin soal Ukraina. Namun, ketegangan Timur Tengah dan kebijakan tarif AS masih jadi faktor utama dalam pergerakan pasar.
