Logo
>

Hingga Kini, Hasil Cukai Rokok Belum Dikontribusikan ke JKN

Ditulis oleh Dian Finka
Hingga Kini, Hasil Cukai Rokok Belum Dikontribusikan ke JKN

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, mengungkap sampai saat ini hasil cukai rokok yang masuk kedalam kas negara belum dikontribusikan untuk program jaminan kesehatan nasional (JKN).

    “Terkait dengan hal tersebut tentu tidak secara langsung dari perusahaan rokok ke BPJS Kesehatan, karena cukai rokok masuk ke kas negara. Saat ini, belum terdapat ketentuan cukai rokok dikontribusikan untuk Program JKN, namun yang ada baru Pajak Pokok,” kata Ali kepada Kabar Bursa, di Jakarta, Senin, 17 Juni 2024.

    Ali memaparkan, dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, ada ketentuan untuk memaksimalkan penggunaan earmark Pajak Rokok sebagai kontribusi daerah dalam mendukung Program Jaminan Kesehatan.

    Ketentuan tersebut, dilaksanakan melalui kontribusi dari pajak rokok bagian hak masing-masing Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, yang selanjutnya tertuang pada PMK 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan.

    “Dalam ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemda wajib mengalokasikan 37,5 persen dari penerimaan pajak rokok daerah untuk Program JKN sesuai dengan ketentuan Pasal 99 ayat 2 Perpres Nomor 82 Tahun 2018,” jelas Ali

    “Apabila realisasi Jamkesda (yang telah diintegrasikan kepada Program JKN) masih dibawah nilai kewajiban daerah, maka selisih tersebut merupakan kekurangan kewajiban daerah yang akan dipotong langsung pada tahun berikutnya (dituangkan dalam BAK sebagai kekurangan tahun sebelumnya) ke BPJS Kesehatan,” sambungnya.

    Untuk diketahui, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah menaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok secara rata-rata 10 persen di 2024. Namun, pengenaan cukai rokok berbeda-beda tergantung jenis dan golongannya.

    Semisal sigaret kretek mesin (SKM) golongan I yang dikenakan cukai rokok Rp1.232 per batang/gram, dan sigaret putih mesin (SPM) golongan I Rp1.336 per batang/gram.

    Sementara rokok jenis SKT atau sigaret putih tangan (SPT) golongan I masing-masing hanya dikenakan Rp483 dan Rp378.

    “Saat ini, hasil pemotongan penerimaan pajak rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan dalam bentuk iuran peserta yang didaftarkan Pemda,” tutupnya

    DPR Usulkan Prabowo Naikan Cukai Rokok

    Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Andreas Eddy Susetyo, mengusulkan agar pemerintahan Prabowo Subianto merancang kenaikan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) untuk lima tahun ke depan.

    Usulan ini muncul sebagai tanggapan atas kebijakan multiyears pemerintah yang sebelumnya menetapkan kenaikan tarif CHT rata-rata 10 persen untuk periode 2023 dan 2024.

    Andreas menyatakan bahwa perancangan tarif cukai rokok untuk periode satu tahun, khususnya pada 2025, penting sebagai bagian dari APBN transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.

    “Jadi kalau kita tetapkan sekarang, nanti kan kebijakan fiskal ke depan dari pemerintah yang baru kita belum tahu juga. Kalau menurut saya, ya kita tentukan dulu sesuai dengan range yang ada untuk 1 tahun,” katanya di Kompleks Parlemen, Selasa, 11 Juni 2024.

    Lebih lanjut, Andreas mengusulkan agar pemerintahan baru merancang kenaikan tarif CHT untuk jangka waktu lima tahun. Menurutnya, hal ini diperlukan guna memberikan kepastian kepada para pelaku industri tembakau dalam merancang rencana bisnis jangka menengah.

    “Presiden yang baru [Prabowo Subianto] perlu membuat satu range misalkan katakanlah proyeksi selama lima tahun, sehingga itu bisa menjadi pegangan industri untuk mau meningkatkan kapasitas atau meningkatkan investasi,” tutur Andreas.

    Sebelumnya, pemerintah telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI untuk kembali menaikkan tarif CHT. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menyampaikan bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif CHT, mengingat tarif multiyears yang akan berakhir tahun ini. “Kami sudah dapat approval [dari DPR] untuk menyesuaikan tarif cukainya 2025 intensifikasi,” katanya.

    Usulan Andreas ini menjadi penting dalam konteks kebijakan fiskal dan industri hasil tembakau, terutama dalam memberikan kepastian dan arahan yang jelas bagi industri untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitasnya dalam jangka panjang. Dengan kebijakan yang lebih terencana dan stabil, diharapkan industri tembakau dapat merespons dengan lebih baik terhadap perubahan-perubahan tarif cukai yang ditetapkan oleh pemerintah.

    Industri Rokok Semakin Tertekan

    Menanggapi itu, Industri Hasil Tembakau (IHT) tengah mengalami tekanan signifikan akibat kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang mencapai double digit dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada produktivitas industri rokok, tetapi juga berpotensi menggerus penerimaan negara dan memicu ancaman pemutusan hubungan kerja.

    Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang tinggi telah menurunkan produksi rokok nasional. Katanya, pada tahun 2019, produksi rokok tercatat 357 miliar batang, sementara pada tahun 2023 turun menjadi 318 miliar batang. Produksi rokok putih bahkan turun dari 15 miliar batang menjadi kurang dari 10 miliar batang.

    “Secara nasional, IHT mengalami penurunan produksi dari 350 miliar batang sebelum pandemi COVID-19 menjadi di bawah 300 miliar batang setelah pandemi,” ujarnya, Selasa, 11 Juni 2024.

    Penurunan produksi ini juga berdampak pada realisasi penerimaan negara dari CHT. Pada tahun 2023, penerimaan CHT tercatat sebesar Rp213,48 triliun, hanya mencapai 97,78 persen dari target APBN 2023. Padahal, biasanya penerimaan cukai rokok mencapai atau melebihi target.

    Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), penerimaan negara dari cukai hingga April 2024 mengalami koreksi sekitar 0,5 persen year on year (YoY) menjadi Rp74,2 triliun, dengan CHT berkontribusi 96 persen dari keseluruhan penerimaan cukai.

    Benny juga mencatat bahwa konsumen kini beralih ke rokok ilegal yang lebih murah, yang semakin menjamur di pasaran. “Parahnya lagi banyak konsumen yang beralih ke rokok ilegal yang semakin menjamur,” tegasnya.

    Di sisi lain, Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyatakan bahwa tingginya cukai rokok memiliki dampak luas pada ekonomi masyarakat.

    “Misalnya Warteg, Warkop, dan sebagainya sangat bergantung kepada penjualan rokok. Jadi, kalau harga rokok mahal, pendapatan mereka akan tergerus karena menurunnya kemampuan membeli rokok,” jelasnya.

    Bambang juga mengkhawatirkan nasib 5,8 juta karyawan di IHT serta dampak negatif pada lingkungan yang lebih luas jika kondisi ini terus berlanjut.

    Menurut Bambang, kenaikan tarif CHT yang tinggi tidak relevan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 10 persen. “Pertumbuhan ekonomi saja masih di 5 persenan, sementara cukai rokok naik di atas 10 persen terus. Itu dampak inflasinya juga besar,” tambahnya.

    Bambang berharap pemerintah menetapkan kebijakan cukai yang ideal dan berimbang dengan melibatkan diskusi dari berbagai pihak yang terdampak sebelum menetapkan tarif cukai.

    “Pemerintah harusnya ada rembukan dengan perwakilan dari masyarakat, misalnya asosiasi pengguna rokok dan pengusaha rokok. Jadi bukan ditentukan kenaikannya begitu saja,” tutupnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.