KABARBURSA.COM - Saham PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) menutup hari dengan koreksi 1,61 persen ke Rp915, ditemani munculnya volume jual yang membuat laju sesaat tersendat. Namun di balik langkah mundur kecil itu, hampir seluruh instrumen teknikal harian masih menyalakan lampu hijau.
Inilah paradoks menarik HRTA, di mana harga melemah, tetapi mesin tren tetap hidup, yang akhirnya menyisakan pertanyaan penting bagi investor, apakah strategi “buy on weakness” memang menjadi kunci untuk menunggangi potensi kenaikan berikutnya?
Dari sudut pandang gelombang, HRTA diperkirakan tengah berada di fase wave [iv] dari wave 3, yaitu sebuah jeda korektif di dalam tren naik yang dominan. Peta intraday konsisten dengan narasi ini.
Rangkuman indikator memberi label “Sangat Beli”; RSI 14 hari berada di 61,5 yang menandakan momentum masih sehat tanpa terlalu panas, MACD positif dan melebar, ADX di kisaran 25 mengindikasikan tren yang sedang menguat, sementara hampir semua Moving Average, mulai dari MA5 hingga MA200, berada di bawah harga sekarang.
Satu-satunya nada sumbang datang dari StochRSI yang masuk zona “overbought/jual”, wajar untuk saham yang sudah naik tajam dalam sebulan terakhir. Di level harga, zona 905–920 menjadi area tarik-menarik (pivot klasik 920, S1 905), sedangkan 945–960 ialah rintangan pertama yang harus ditembus untuk menguji 985.
Dengan konteks ini, usulan buy on weakness di 805–895 selaras dengan peta dukungan (S2 880, S1 905), plus disiplin stoploss di bawah 750 sebagai pagar risiko yang tegas.
Fundamental HRTA memberikan alas yang tidak rapuh untuk cerita teknikalnya. Dalam 12 bulan terakhir, perusahaan mencetak pendapatan Rp25,0 triliun dan laba bersih Rp585 miliar, dengan PER TTM 7,2x, berada di bawah median PER IHSG 9,12x, serta Earnings Yield 13,9 persen.
Profitabilitas menanjak, di mana ROE 22,6 persen dan ROCE 29,0 persen mengisyaratkan pengelolaan modal yang efisien. Sementara, pertumbuhan laba kuartalan YoY menembus +93 persen di Q2. Artinya, pemulihan kinerja sangat nyata.
Neracanya campur rasa. Current ratio 2,14 memberi bantalan likuiditas, tetapi quick ratio 0,62 dan leverage yang masih tinggi (debt/equity 1,49) menuntut kewaspadaan, terlebih arus kas operasi TTM negatif dan free cash flow masih minus.
Meski demikian, rekam jejak dividen tetap terjaga (TTM Rp21, yield ±2,3 persen, payout 13,9 persen), memberi “carry” yang tak dimiliki banyak emiten siklikal.
Segini Nilai Wajar HRTA: Siap Beli?
Soal nilai wajar, data memberi ruang optimistis namun tetap membumi. Dengan EPS TTM Rp127,04 dan rerata pasar 9–10x sebagai patokan konservatif untuk emiten ritel-emas berbeta menengah, estimasi harga wajar konservatif berada di kisaran Rp1.150–Rp1.270.
Jika memakai EPS annualised 2025 Rp151,35 dan kelipatan 9x, yang menggambarkan ekspektasi normalisasi kinerja yang berlanjut, nilai wajarnya merangkak ke sekitar Rp1.360. Artinya, dari harga Rp915, terdapat potensi re-rating 25–45 persen dalam pandangan menengah, dengan catatan disiplin terhadap dinamika kas dan utang tetap dijaga.
Apakah strategi beli saat saham “merah” tepat? Untuk HRTA, jawabannya cenderung ya, namun terukur. Koreksi tipis hari ini lebih menyerupai “pit stop” pada tren yang masih sehat ketimbang tanda kelelahan struktural.
Strategi yang tak tergesa, yakni akumulasi bertahap di 895–905 saat tarik-ulur di pivot mengemuka, menambah di 880–865 jika terjadi throwback lebih dalam, serta patuh pada stoploss harian di bawah 750, memberi peluang menargetkan Rp1.015 dan Rp1.070 jangka dekat, sambil menyimpan asa menuju zona nilai wajar menengah yang lebih tinggi.
Dengan momentum teknikal yang masih memihak, fundamental yang membaik, dan valuasi yang belum mahal, HRTA menawarkan risk-reward yang seimbang bagi investor yang bersedia disiplin di tengah volatilitas.(*)