KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,37 persen pada penutupan perdagangan pekan ini, 12 Juli 2024. Pada level tertinggi, IHSG hari ini berada di level 7,354,163 sedangkan terendah berada di angka 7,300,745.
Adapun nilai perdagangan yang dicatat hari ini sebesar Rp12,043 triliun dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp12,511,824 triliun per hari ini. Berdasarkan data dalam panel perdagangan RTI Business, penguatan harga saham juga dialami sektor healthcare sebesar 0,27 persen. Berikut dinamika saham healthcare yang direkomendasikan analis.
PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), pekan ini mencatat peningkatan 4,70 persen dengan rata-rata harga saham Rp1,500 hingga Rp1,590 per lembar saham. KLBF mencatat volume perdagangan hingga 127,3 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp196,4 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham KLBF tercatat sebanyak 15,142.
Sementara PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), tercatat menguat 2,77 persen dengan harga rata-rata saham yang diperdagangkan di kisaran Rp1,970 hingga Rp2,060. TSPC mencatat volume perdagangan hingga 10 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp20,1 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham TSPC tercatat sebanyak 1,410.
Sedangkan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), terpantau fluktuatif di panel perdagangan pekan ini dengan harga saham rata-rata Rp730 hingga Rp760. SIDO mencatat volume perdagangan hingga 102,2 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp75,8 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham KLBF tercatat sebanyak 16,664.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo menuturkan, kinerja positif keuangan industri farmasi masih terus tumbuh positif. Hal itu juga berdampak positif bagi pergerakan harga sahamnya.
“Hal ini memang adanya kenaikan pada penjualan produk pada emiten farmasi,” kata Aziz kepada KabarBursa, Jumat, 12 Juli 2024.
Aziz pun merekomendasikan ketiga saham tersebut untuk hold dengan target price Rp1,630.
Harga Obat Tak Pengaruhi Saham Farmasi
Sebagaimana diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut harga obat di Indonesia lebih mahal 500 persen dari Malaysia. Kendati begitu, tingginya harga obat tidak berpengaruh pada pergerakan saham industri farmasi.
Pengamat Pasar Modal yang juga founder Traderindo.com, Wahyu Laksono menyebut, produk farmasi berbeda dengan jenis konsumsi lainnya. Obat, kata dia, hampir tidak memiliki kompetitor di pasar domestik dan tidak dapat digantikan kebutuhannya.
“Berbeda dengan produk konsumsi seperti makanan atau minuman. Obat jelas signifikan dan cenderung hampir tidak memiliki kompetitor di domestik. Obat ya obat, nggak bisa ditolak kali dibutuhkan,” kata Wahyu kepada KabarBursa.
Semahal apapun harga obat, kata Wahyu, masyarakat akan tetap mengonsumsi komoditas tersebut. Dalam hal ini, pengaruh lemahnya nilai tukar rupiah tidak terlalu berdampak pada kinerja emiten farmasi kecuali political will yang diambil oleh pemerintah.
“Emiten farmasi akan tetap potensial karena masih dibutuhkan apapun kondisinya,” jelasnya.
Wahyu menilai, kondisi ekonomi dalam negeri justru akan sangat berdampak pada kinerja emiten farmasi. Misalnya, kata dia, krisis ekonomi dan pandemi Covid-19 sebagaimana yang terjadi pada 2020 kemarin.
“Kalau pun ada pergerakan itu bisa berupa siklus ekonomi. Misalnya krisis ekonomi, nggak ada pilihan banyak emiten akan tertekan atau krisis kesehatan seperti pandemic COVID. Farmasi sangat diuntungkan,” tutupnya.
Pemerintah Siapkan Langkah Mitigasi
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, meminta masyarakat bersabar tentang tingginya harga obat dalam negeri. Diketahui sebelumnya, Budi sempat menyebut harga obat di Indonesia lebih tinggi hingga 500 persen ketimbang Malaysia.
Budi mengaku, Kementerian Kesehatan tengah mencari solusi bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menekan harga obat dalam negeri. Dia juga mengaku telah menemukan tolok ukur atau benchmark harga obat untuk disesuaikan di Indonesia.
“Itu sabar tuh, ini sedang bikin sama Bapak Presiden, kita nyiapin. Tapi satu yang sudah kita lihat, sudah kita benchmark. Memang harga obat di Indonesia lebih tinggi,” kata Budi kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024.
Budi menyebut, benchmarking akan disesuaikan dengan harga obat anggota G20 dan negara-negara di Asia. Dia menilai, proses itu akan membantu menemukan titik persoalan mahalnya harga obat dalam negeri.
Di sisi lain, Budi juga mengaku telah menemukan data penyebab tingginya harga obat dalam negeri. Meski begitu, dia mengaku tengah mencari kontribusi dari tiap-tiap penyebab meningkatnya harga obat.
“Karena ada banyak, gara-gara pajak, gara-gara distribusi, gara-gara tata kelola, itu banyak kan. Nah sekarang kita mau coba rapihkan berapa sih kontribusi masing-masing penyebab itu,” jelasnya. (And/*)