Logo
>

IHSG Goyah, Investor Asing Dapat Bocoran Keadaan Domestik?

Wakil Sekretaris Jenderal Organisasi Profesi Pasar Modal Indonesia (PROPAMI) Bidang Keanggotaan, Boris Sihar Sirait mengira larinya investor asing dari pasar Indonesia karena mereka mendapat bocoran keadaan ekonomi dan politik di Indonesia

Ditulis oleh Desty Luthfiani
IHSG Goyah, Investor Asing Dapat Bocoran Keadaan Domestik?
Layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) usai turun lebih dari 5 persen pada Selasa, 18 Maret 2025, di Jakarta Pusat. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Wakil Sekretaris Jenderal Organisasi Profesi Pasar Modal Indonesia (PROPAMI) Bidang Keanggotaan, Boris Sihar Sirait, memaparkan pengaruh faktor makroekonomi terhadap pasar modal Indonesia.

    Dalam pemaparannya, ia menyoroti berbagai indikator makroekonomi yang berperan dalam menentukan arah pasar modal, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

    Menurut Boris, pertumbuhan ekonomi (PDB), nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga (BI Rate), serta harga komoditas global menjadi faktor utama yang membentuk dinamika pasar modal. "Indikator-indikator ini berfungsi sebagai leading dan lagging indicators yang memberikan sinyal terhadap pergerakan pasar," ujarnya dalam acara edukasi wartawan pasar modal yang digelar secara daring pada Selasa, 18 Maret 2025.

    Boris menjelaskan bahwa leading indicators, seperti indeks saham, Purchasing Managers’ Index (PMI), klaim pengangguran awal (initial jobless claims) dan kurva imbal hasil obligasi (yield curve), sering kali memberikan sinyal lebih awal terhadap perubahan tren ekonomi dan pasar modal.

    Sementara itu, lagging indicators, seperti inflasi, tingkat pengangguran, laporan keuangan perusahaan, dan PDB, lebih berfungsi untuk mengonfirmasi tren yang telah terjadi.

    Terkait dengan suku bunga, Boris menekankan bahwa kebijakan moneter Bank Indonesia, yang tercermin dalam BI Rate, memainkan peran penting dalam mengendalikan inflasi serta memberikan sinyal bagi perilaku kredit dan konsumsi masyarakat. "Kenaikan BI Rate cenderung menekan likuiditas di pasar modal, sementara penurunan suku bunga dapat meningkatkan daya tarik investasi di pasar saham," ucap dia.

    Selain itu, harga komoditas global seperti minyak bumi, minyak sawit, dan logam turut memengaruhi inflasi serta kebijakan moneter.

    Lonjakan harga komoditas tertentu bisa menjadi sinyal bagi investor untuk mengantisipasi perubahan di pasar modal. "Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pergerakan harga minyak dan indeks saham global, seperti Dow Jones Industrial Average (DJIA), memiliki korelasi positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)," kata Boris, mengutip penelitian dari Adrian Doni (2023) dan Raharjo Danang Purbo (2023).

    Dari sisi kebijakan fiskal, Boris menjelaskan bahwa kebijakan ekspansif, seperti stimulus fiskal dan pemotongan pajak, cenderung mendorong konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan dan pergerakan IHSG. 

    Sebaliknya, kebijakan fiskal yang kontraktif, seperti kenaikan tarif pajak dan pemotongan belanja negara, dapat menekan daya beli masyarakat dan berpotensi menekan pergerakan pasar saham.

    Ia juga menyoroti faktor eksternal yang dapat memengaruhi pasar modal Indonesia, seperti kebijakan bank sentral global, ketegangan geopolitik internasional, serta krisis finansial global.

    Faktor eksternal ini sering kali sulit diprediksi, namun dampaknya terhadap pasar modal bisa sangat signifikan. Contohnya adalah bagaimana kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) mempengaruhi arus investasi asing ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

    Boris mengingatkan bahwa stabilitas politik dan regulasi pemerintah yang konsisten sangat penting dalam menjaga kepercayaan investor.

    "Pasar modal sangat sensitif terhadap ketidakpastian regulasi. Oleh karena itu, kebijakan yang jelas dan predictable sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif," ujar dia.

    Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan dalam beberapa waktu terakhir bahkan hari ini perdagangan sempat dihentikan sementara karena indeks terus anjlok bahkan ke level 6.046 terburuk selama 2025. 

    Hal ini memicu spekulasi mengenai faktor-faktor yang mendasarinya. Anjloknya IHSG dikaitkan dengan berbagai isu ekonomi dan politik, mulai dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dugaan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dinilai dapat mengikis kepercayaan investor. 

    Dalam sesi tanya jawab usai acara, Boris, menekankan penting untuk membedakan antara korelasi dan pengaruh langsung dalam menganalisis pergerakan IHSG. Ia menekankan bahwa sebuah faktor dapat memiliki hubungan dengan IHSG, tetapi belum tentu menjadi penyebab utama pelemahan indeks.

    “Kita harus berhati-hati dalam penggunaan diksi. Jika disebut ‘mempengaruhi’, maka seharusnya ada data yang sudah diuji secara statistik untuk membuktikannya. Sementara ‘korelasi’ bisa saja berarti bahwa faktor A dan faktor B bergerak searah, tapi belum tentu yang satu menyebabkan yang lain,” ujar Boris.

    Ia mencontohkan bahwa defisit APBN yang ditargetkan sebesar 2,5 persen oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani memang bisa menjadi pertimbangan bagi investor, tetapi belum tentu secara langsung menyebabkan anjloknya IHSG. “Saya cukup meyakini bahwa Ibu Sri Mulyani akan all out memperjuangkan target defisit APBN ini, sehingga dampaknya terhadap IHSG belum tentu signifikan,” ucap dia.

    Sementara itu, isu korupsi di BUMN dan pembahasan RUU TNI dinilai memang dapat berpengaruh terhadap persepsi investor. Namun, Boris menilai bahwa investor asing yang mendominasi pasar saham Indonesia memiliki akses informasi yang lebih luas dibandingkan masyarakat umum.

    "Mereka punya sumber langsung ke dalam elite pemerintahan. Bisa saja mereka sudah mendapatkan informasi yang tidak diketahui publik, misalnya terkait kebijakan pemerintah ke depan atau potensi perubahan politik,” katanya.

    Lebih lanjut, Boris menekankan perlunya pembuktian lebih lanjut sebelum menyimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama pelemahan IHSG. “Saya tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa ada bukti pendukung yang kuat. Spekulasi memang selalu ada, tapi untuk memastikan dampak suatu faktor terhadap IHSG, kita butuh data yang jelas,” ucap dia. (*

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".