KABARBURSA.COM - Pasar saham Indonesia berpeluang mencatatkan penguatan jangka pendek usai tercapainya kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan China. Namun, penguatan ini dinilai belum kokoh secara struktural.
Menurut Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, kesepakatan yang dicapai belum menyentuh akar permasalahan dan hanya bersifat taktis.
“Resistance kuat berada di kisaran 6.970 hingga 7.000, level psikologis yang menjadi ujian besar IHSG dalam waktu dekat. Jika berhasil ditembus, terbuka peluang menuju 7.100–7.150 hingga akhir Mei,” jelasnya dalam riset harian dikutip Rabu, 14 Mei 2025.
Untuk jangka menengah, yakni dalam rentang satu hingga tiga bulan ke depan, peluang lanjutan penguatan tetap terbuka jika The Fed merealisasikan pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada FOMC Meeting Juni atau Juli. Ditambah lagi, rilis kinerja kuartal II emiten yang solid dapat menopang laju indeks menuju 7.200–7.250, bahkan mungkin menyentuh 7.300.
Meskipun demikian, Kiwoom tetap mengambil pendekatan konservatif, mengingat pengalaman serupa saat jeda dagang pada 2018–2019 yang tidak menghasilkan perbaikan konkret. Sikap skeptis juga ditunjukkan oleh lembaga internasional lain.
Macquarie menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah taktis bersama”, bukan perdamaian jangka panjang. Bahkan, sebagian besar tarif masih tetap berlaku, termasuk tarif fentanyl dari AS dan balasan dari China.
Sementara itu, analis dari Citi menyoroti bahwa kompromi dagang ini belum tentu mendapat dukungan penuh dari basis politik Donald Trump. Ketidakpastian terhadap niat strategis AS terhadap China, serta ketidakpercayaan mitra dagang terhadap komitmen jangka panjang AS, menjadi faktor pembatas laju sentimen global.
Potensi Dana Asing dan Tantangan Persaingan dengan China
Dari sisi arus dana, kesepakatan dagang membuka kembali selera risiko investor global terhadap pasar berkembang, termasuk Indonesia. Harapannya, aliran dana asing dapat kembali mengalir ke obligasi dan saham domestik, terlebih jika arah suku bunga global mulai lebih akomodatif.
Namun, kondisi faktual menunjukkan bahwa hingga saat ini, investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih yang signifikan. “Foreign net sell year-to-date hampir menyentuh Rp54 triliun,” kata Liza.
Meski terjadi aksi jual atas aset berbasis USD, IHSG belum mendapatkan aliran beli asing yang substansial.
Kiwoom bahkan memperingatkan bahwa IHSG bisa kalah sentimen dari pasar saham China dan AS. Goldman Sachs menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV menjadi 1 persen (dari 0,5 persen), sekaligus menurunkan probabilitas resesi 12 bulan ke depan menjadi hanya 35 persen.
Morgan Stanley melaporkan bahwa hedge fund berbasis AS meningkatkan eksposur ke saham China pekan lalu, seiring optimisme terhadap kelanjutan dialog perdagangan. Indeks MSCI China dan CSI 300 masing-masing menguat 2,4 persen dan 1,9 persen, memperlihatkan daya tarik pasar China di mata investor global. Dengan price to earnings ratio CSI 300 sebesar 12,64 kali, relatif sebanding dengan IHSG di 13,33 kali, kompetisi antar pasar untuk menarik capital inflow kian ketat.
Namun demikian, Indonesia tak sepenuhnya kehilangan peluang. Meningkatnya outlook ekonomi AS dan China bisa menjadi katalis positif bagi pasar komoditas global, sektor yang masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Dengan karakteristik bursa yang commodity-driven, investor bisa menanti spill-over effect dari penguatan harga komoditas yang dipicu permintaan global.
Fundamental IHSG Masih Solid di Tengah Ancaman Domestik
Terlepas dari faktor eksternal, kondisi fundamental IHSG terbilang cukup sehat. Valuasi indeks masih relatif menarik dengan PER forward berkisar antara 13 hingga 14 kali, masih di bawah rata-rata lima tahun terakhir.
Secara korporasi, laporan keuangan kuartal I-2025 menunjukkan peningkatan pendapatan rata-rata sebesar 3,24 persen year-on-year, sedangkan laba bersih naik signifikan sebesar 19,32 persen. Kinerja positif ini terutama disumbang oleh sektor perbankan, telekomunikasi, dan infrastruktur logistik.
Namun, dari sisi makroekonomi domestik, sejumlah indikator menyalakan lampu kuning. Cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2025 turun menjadi USD152,5 miliar, dari USD157,1 miliar di bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri dan intervensi pasar oleh Bank Indonesia.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi kuartal I hanya mencapai 4,87 persen, di bawah ekspektasi 5 persen, sekaligus menjadi pertumbuhan terendah sejak kuartal III 2021.
Penurunan konsumsi rumah tangga, investasi, serta kontraksi belanja pemerintah memperlemah kontribusi utama terhadap produk domestik bruto. Sementara itu, lonjakan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi sinyal perlambatan aktivitas ekonomi.
Hingga akhir Maret 2025, lebih dari 35 ribu pekerja mengajukan klaim JKP, dengan total klaim mencapai Rp161 miliar, naik 48 persen dibanding tahun sebelumnya.
Tekanan juga datang dari sisi fiskal. Tax ratio Indonesia pada kuartal I-2025 anjlok ke 7,95 persen, dari 9,77 persen tahun sebelumnya, disinyalir akibat gangguan teknis sistem perpajakan Coretax.
Selain itu, penyaluran dividen BUMN yang dialihkan ke Dana Abadi Danantara, bukan ke kas negara, turut mengurangi ruang fiskal pemerintah. (*)