KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah menunjukkan performa impresif sepanjang bulan April 2025, dengan rebound signifikan sebesar 8,96 persen hingga 21 April dari level support penting di 5.923.
Kenaikan ini terjadi di tengah tekanan global yang tak kunjung reda, termasuk perang dagang dan ketidakpastian moneter dari The Fed. Namun, apakah pergerakan ini cukup kuat untuk menegaskan bahwa pasar telah berbalik arah ke tren bullish, atau justru hanya pantulan teknikal sementara dalam tren turun yang lebih besar?
Dari sisi teknikal, Ezaridho Ibnutama, analis NH Korindo Sekuritas Indonesia, melihat terjadi penguatan tajam yang membawa IHSG menembus resistance penting di 6.248. Namun, secara formasi candlestick, belum terbentuk pola reversal yang solid seperti bullish engulfing atau morning star.
Hal ini menandakan bahwa meski ada momentum jangka pendek yang positif, validitas tren naik secara jangka menengah masih perlu dikonfirmasi. IHSG tampaknya kehilangan momentum saat bergerak di atas area resistance ini, yang menunjukkan bahwa pasar belum sepenuhnya yakin untuk mengukuhkan tren bullish jangka panjang.
Salah satu katalis positif utama yang memberi ruang untuk optimisme adalah meredanya tekanan jual asing. Data per 17 April menunjukkan Net Foreign Sell di pasar reguler hanya sebesar Rp539,13 miliar — angka yang relatif kecil dibandingkan periode sebelumnya, memberikan sinyal bahwa pelaku pasar asing mulai melihat valuasi IHSG sebagai peluang, bukan risiko.
Apalagi, banyak saham blue chip saat ini diperdagangkan pada valuasi yang terdiskon cukup dalam, berada di bawah -2 standar deviasi dari rata-rata Price to Earnings (P/E) historisnya. Situasi ini menyiratkan bahwa risiko penurunan harga lebih lanjut relatif terbatas karena valuasi sudah cukup menarik.
Sentimen positif juga datang dari sektor eksternal. Hubungan dagang bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat belakangan ini tampak semakin solid, terutama dengan adanya perjanjian dagang yang dianggap “iron-clade”. Ini memberi kepercayaan lebih kepada investor bahwa arus perdagangan Indonesia tidak akan terganggu secara signifikan oleh eskalasi ketegangan geopolitik global.
Namun di balik sinyal positif tersebut, awan gelap tetap bergantung di atas pasar. Risiko fiskal, baik dari sisi domestik maupun eksternal, masih menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Ketidakpastian kebijakan fiskal dalam negeri menyusul transisi pemerintahan dan beban APBN yang meningkat dapat memicu volatilitas baru di pasar keuangan.
Di sisi lain, meski perang tarif tampaknya sudah “priced-in” oleh pasar, kenyataan bahwa kesepakatan dagang antara AS dan Indonesia masih rentan goyah menjadi potensi pemicu kekhawatiran baru.
Yang lebih krusial adalah risiko dari sisi moneter global. Bank Sentral AS (The Fed) masih membuka ruang untuk langkah hawkish tak terduga, terutama jika inflasi tetap tinggi. Jika hal ini terjadi, Rupiah kemungkinan besar akan melemah, yang pada gilirannya bisa memaksa Bank Indonesia (BI) ikut bersikap hawkish untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Siklus suku bunga tinggi tentu menjadi kabar buruk bagi pasar saham, terutama sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya pendanaan.
Dalam situasi seperti ini, IHSG berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang besar dari valuasi murah dan potensi aliran modal asing kembali masuk. Di sisi lain, risiko makroekonomi, baik domestik maupun global, masih belum sepenuhnya mereda.
Maka, pertanyaan “to be or not to be bearish” tetap relevan untuk saat ini, menuntut investor untuk bersikap cermat, fleksibel, dan responsif terhadap perkembangan data ekonomi serta sinyal teknikal dalam waktu dekat.
IHSG Ditutup Bergerak Pelan
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup menguat tipis sebesar 0,12 persen atau naik 7 poin ke level 6.445 pada perdagangan Senin, 21 April 2025.
Merujuk data RTI Business, IHSG hari ini bergerak fluktuatif di kisaran 6.406 hingga 6.472. Meski menguat, saham melemah lebih banyak dengan 295, sementara saham menguat 289. Adapun 220 saham mengalami stagnan.
Pada penutupan sore ini, volume perdagangan mencapai 14,764 miliar lembar saham dengan nilai transaksi sebesar Rp8,433 triliun.
Sementara itu mengutip Stockbit, saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) memimpin dalam kategori Top Volume dengan total transaksi mencapai 781,56 juta lembar saham.
PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) bertengger di urutan kedua dengan volume transaksi sebesar 644,84 juta lembar. Di posisi ketiga ada PT Panin Financial Tbk (PNLF) dengan transaksi sebesar 625,19 juta lembar saham
Emiten lain yang masuk dalam lima besar volume perdagangan adalah PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dan PT Fore Kopi Indonesia Tbk (FORE), masing-masing dengan volume 453,40 juta dan 327,82 juta lembar.
Untuk kategori top value, emiten PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menempati urutan teratas dengan total nilai transaksi mencapai Rp648,62 miliar.
ANTM unggul tipis dari PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang mencatat nilai perdagangan sebesar Rp435,89 miliar.
Sektor perbankan juga mencatatkan kehadiran yang signifikan, dengan tiga bank raksasa nasional masuk dalam daftar lima besar. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Rp381,66 miliar, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Rp380,40 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp340,07 miliar.
Dari sisi sektoral, sektor teknologi mencatat kenaikan tertinggi sebesar +3,39 persen. Sektor basic industry juga menunjukkan performa positif dengan kenaikan +1,64 persen, diikuti oleh sektor industri (+0,43 persen) dan kesehatan (+0,19 persen).
Sebaliknya, sektor energi justru mengalami penurunan -0,68 persen. Penurunan juga terlihat di sektor non-cyclical (-0,56 persen), infrastruktur (-0,57 persen), dan cyclical (-0,29 persen).(*)