KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan selama sepekan terakhir dengan mencatat kenaikan sebesar 3,17 persen dan aliran dana asing masuk sebesar Rp413 miliar di pasar reguler.
Arah penguatan indeks ini didorong terutama oleh performa unggul sektor infrastruktur dan teknologi yang mencatat pertumbuhan tertinggi di antara indeks sektoral lainnya.
Analis saham PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, menyampaikan bahwa sejak breakout pola minor cup and handle (CnH) pada 10 Juli 2025 lalu, IHSG menunjukkan tren akselerasi yang kuat dan konsisten bertahan di atas moving average lima hari (MA5). "Kondisi ini memperlihatkan bahwa kekuatan pasar masih terjaga," kata Iman melalui keterangan resminya Senin, 28 Juli 2025.
Imam menjelaskan bahwa sektor IDXINFRA dan IDXTECHNO menjadi motor utama kenaikan IHSG belakangan ini. Di dalam IDXTECHNO, saham-saham seperti DCII, EMTK, WIFI, dan EDGE mencatat kenaikan signifikan. Sedangkan dari sektor IDXINFRA, saham-saham seperti BREN, SSIA, dan TOWR menjadi penopang utama.
“Yang menarik, kedua sektor ini termasuk yang paling sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dan seperti diketahui, Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin baru-baru ini. Pemangkasan ini menjadi katalis positif tambahan bagi saham-saham berbasis teknologi dan infrastruktur,” jelas Imam.
Di luar faktor domestik, sentimen eksternal juga turut memengaruhi arah IHSG. Salah satunya adalah kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Jepang yang diumumkan pada 22 Juli 2025 lalu. Dalam kesepakatan tersebut, Jepang sepakat menurunkan tarif impor barang dari AS sebesar 15 persen.
Imam menilai bahwa kesepakatan ini memiliki dua sisi bagi Indonesia. Dampak positifnya, kesepakatan ini meredakan ketegangan perdagangan global yang sempat memicu kekhawatiran pelaku pasar. Hal itu tercermin dari turunnya indeks volatilitas VIX sebesar 11,71 persen sepanjang pekan lalu. Namun di sisi lain, Jepang yang menjadi salah satu kontributor terbesar dalam investasi langsung (FDI) ke Indonesia, bisa jadi mengalihkan sebagian alokasi investasinya ke AS. “Pada kuartal pertama 2025 saja, Jepang telah merealisasikan investasi sebesar 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp16 triliun di Indonesia. Jika porsi itu dialihkan sebagian ke AS, maka kita harus waspada terhadap potensi pelemahan FDI di kuartal-kuartal berikutnya,” jelasnya.
Selain itu, faktor regulasi dalam negeri juga mulai menjadi perhatian pasar. Kementerian ESDM mewajibkan seluruh perusahaan tambang mineral dan batu bara untuk kembali mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) secara tahunan mulai Oktober 2025. Sebelumnya, RKAB bisa diajukan untuk jangka waktu tiga tahun.
“Perubahan ini secara prinsip akan mempersulit perencanaan jangka panjang perusahaan tambang karena izin operasi yang hanya berlaku satu tahun ke depan meningkatkan risiko ketidakpastian,” kata Imam.
Ia mencontohkan bahwa jika sebuah perusahaan tambang ingin membeli alat berat senilai Rp100 miliar dengan masa pakai lima tahun, maka risiko akan muncul jika RKAB tahun berikutnya tidak disetujui. “Alat berat bisa menjadi idle dan tidak produktif, apalagi jika sistem digital ESDM belum siap, potensi keterlambatan sangat terbuka,” tambahnya.
Menyambut pekan baru 28 Juli hingga 1 Agustus 2025, pasar akan menantikan sejumlah data penting baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Yang paling ditunggu adalah keputusan suku bunga The Fed atau Fed Funds Rate (FFR) yang dijadwalkan rilis pada 31 Juli 2025 waktu Indonesia.
Konsensus memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen dengan probabilitas mencapai 95,9 persen. Ini naik signifikan dibanding probabilitas 79 persen pada akhir Juni lalu, sebagai respons terhadap data ketenagakerjaan AS yang masih solid.
Beberapa indikator tenaga kerja yang menunjukkan penguatan antara lain turunnya tingkat pengangguran menjadi 4,1 persen dari 4,2 persen di bulan Mei, penurunan klaim pengangguran awal secara konsisten, serta peningkatan job openings dan non-farm payrolls ke angka 147 ribu pada Juni.
Di sisi inflasi, pasar menantikan rilis data Personal Consumption Expenditures (PCE) untuk bulan Juli. Konsensus memperkirakan inflasi inti atau Core PCE akan naik ke 0,3 persen dari 0,2 persen bulan sebelumnya. Ini menjadi sinyal penting apakah tekanan harga di AS benar-benar mulai pulih atau justru kembali naik.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik dijadwalkan merilis data inflasi Juli 2025 yang diperkirakan meningkat ke level 2,1 persen secara tahunan menurut konsensus Trading Economics Forecast. Selain itu, data PMI manufaktur Indonesia dan Caixin PMI manufaktur China juga akan menjadi acuan arah sentimen pasar Asia.
Secara teknikal, Imam memproyeksikan bahwa IHSG masih memiliki potensi untuk melanjutkan penguatan, namun terbatas. Support indeks berada di level 7400 sementara resistance berada di area 7700.
“IHSG kini berada di zona ekstensi Fibonacci 1,618 yang biasanya menandakan kenaikan sudah mulai jenuh. Ditambah lagi laporan keuangan dari sejumlah bank besar akan mulai rilis, pasar kemungkinan akan bergerak dalam pola wait and see,” ujar Imam.
Dalam kondisi saat ini, saham dan obligasi yang sensitif terhadap suku bunga dinilai masih menjanjikan. Sektor-sektor seperti teknologi, infrastruktur, properti, serta obligasi tenor menengah dinilai bisa menjadi opsi investasi defensif maupun ofensif tergantung strategi masing-masing investor.(*)