KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup sesi pertama dengan memberikan sinyal tekanan domestik yang lebih dominan. Di saat bursa Asia bergerak di zona hijau, IHSG justru ditutup melemah 31,66 poin atau 0,37 persen ke level 8.614,19.
IHSG dibuka di level 8.656,65. Sejak itu, indeks tidak pernah benar-benar menemukan momentum penguatan yang solid dan bergerak konsisten di area negatif hingga menyentuh level terendah intraday di 8.604,57.
Dari sisi sektoral, enam indeks tercatat menjadi pemberat utama. Sektor kesehatan memimpin pelemahan dengan koreksi satu persen, diikuti sektor keuangan yang turun 0,69 persen dan properti yang melemah 0,52 persen.
Turunnya sektor finansial menjadi sinyal penting karena sektor ini berperan besar dalam menjaga stabilitas indeks di level tinggi. Sedangkan pelemahan saham-saham sektor perbankan dan keuangan menandakan adanya aksi ambil untung lanjutan setelah reli Panjang. Pelaku pasar sepertinya masih hati-hati terhadap prospek likuiditas dan arah kebijakan suku bunga global.
Dari sisi breadth market, tekanan jual terlihat lebih dominan meski tidak ekstrem. Sebanyak 348 saham melemah, 301 saham menguat, dan 154 saham stagnan. Tidak ada panic selling, namun pasar masih berada dalam fase konsolidasi dengan kecenderungan distribusi.
Aktivitas perdagangan sendiri tergolong ramai, dengan volume mencapai 23 miliar saham dan nilai transaksi Rp14,5 triliun. Nilai transaksi yang tinggi di tengah koreksi mengindikasikan adanya perpindahan kepemilikan yang aktif, bukan sekadar minimnya minat beli.
Perhatikan BUMI, DEWA, INET
Pergerakan saham-saham individu memperlihatkan kontras yang tajam antara saham-saham tematik dan saham defensif. Di sisi penguatan, lonjakan tajam pada FILM yang naik Rp950 ke Rp10.675 dan SINI yang melonjak Rp1.075 ke Rp11.825
YULE yang menguat Rp800 ke Rp4.000 juga menegaskan bahwa aliran dana jangka pendek masih selektif mencari peluang di luar saham-saham berkapitalisasi besar.
Sebaliknya, tekanan jual pada saham-saham berharga tinggi seperti DSSA yang turun Rp575 ke Rp109.825 dan memberi kontribusi signifikan terhadap pelemahan indeks secara nominal. Koreksi pada SRAJ dan MORA masing-masing Rp400 dan Rp275.
Pelemahan kedua emiten ini menunjukkan bahwa saham-saham yang sebelumnya bergerak agresif mulai mengalami normalisasi.
Aktivitas perdagangan yang tinggi pada BUMI, dengan frekuensi lebih dari 185 ribu kali dan nilai transaksi Rp2,4 triliun, menempatkan saham ini sebagai pusat perhatian pelaku pasar. Tingginya transaksi BUMI, diikuti DEWA dan INET, menunjukkan bahwa fokus pelaku pasar masih tertuju pada saham-saham berlikuiditas tinggi dan sarat sentimen.
Harga UNVR, MAPI, KLBF Tergerus
Di kelompok saham unggulan LQ45, tekanan justru lebih terasa pada saham-saham defensif dan konsumsi. Unilever Indonesia (UNVR) turun hampir tiga persen ke Rp2.620, diikuti MAPI yang melemah 2,49 persen dan KLBF yang turun 2,04 persen.
Pelemahan saham-saham ini mengindikasikan rotasi sektor, di mana investor mulai mengurangi eksposur pada saham konsumsi dan kesehatan yang sebelumnya dianggap relatif aman. Kondisi ini bisa dibaca sebagai refleksi kehati-hatian terhadap daya beli dan prospek pertumbuhan laba di tengah ketidakpastian global.
Sebaliknya, lonjakan tajam pada INCO yang melesat 15,43 persen ke Rp5.125 menjadi anomali positif di tengah koreksi indeks. Penguatan INCO, bersama NCKL dan MBMA yang masing-masing naik di atas 6 persen.
Kenaikan ini memberi bantalan psikologis bagi pasar, meski belum cukup kuat untuk mengangkat IHSG ke zona hijau.
Secara keseluruhan, performa IHSG pada sesi pertama hari ini mencerminkan fase konsolidasi yang wajar setelah indeks berada di level tinggi. Tekanan jual lebih bersifat selektif dan tidak disertai pelepasan masif, sementara minat beli masih muncul pada saham-saham dengan cerita pertumbuhan dan komoditas.
Dengan latar belakang bursa regional yang relatif positif, koreksi IHSG lebih dapat dibaca sebagai penyesuaian internal dan aksi ambil untung jangka pendek, bukan perubahan tren besar. Arah pergerakan pada sesi berikutnya akan sangat bergantung pada apakah sektor keuangan mampu stabil dan apakah penguatan saham komoditas dapat meluas ke sektor lain.(*)