Logo
>

Industri Tekstil Kian Terjepit Imbas Lemahnya Rupiah

Ditulis oleh KabarBursa.com
Industri Tekstil Kian Terjepit Imbas Lemahnya Rupiah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Badan Pengurus Daerah (BPD) Jawa Barat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Andrew Purnama mengaku, tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memperburuk nasib industri tekstil dalam negeri.

    Sebagaimana diketahui, data Google Finance menunjukan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp16.451. Angka tersebut menguat 34,35 poin atau sekitar 0,21 persen dari yang sebelumnya ada di angka Rp16.486 per dolar AS.

    “Tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mencapai Rp16.451 tentu menjadi perhatian serius bagi industri tekstil. Pelemahan rupiah ini memperburuk tantangan yang sudah ada,” kata Andrew saat dihubungi Kabar Bursa, Selasa, 18 Juni 2024.

    Andrew menuturkan, tingginya nilai tukar rupiah berdampak pada kenaikan biaya produksi di industri tekstil. Pasalnya, industri ini sangat bergantung pada bahan baku impor. Dengan melemahnya rupiah, Andrew khawatir harga bahan baku akan melonjak tinggi.

    “Bahan baku impor menjadi lebih mahal, sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini dapat menurunkan margin keuntungan dan daya saing produk tekstil Indonesia di pasar global,” ungkapnya.

    Di sisi lain, kata Andrew, melemahnya rupiah juga menekan harga jual. Dengan naiknya biaya produksi, produsen terpaksa mengerek harga jualnya. Di samping itu, kenaikan harga juga berdampak pada jumlah permintaan.

    “Kenaikan harga bisa menurunkan permintaan, terutama di tengah kondisi pasar yang lesu,” paparnya.

    Melemahnya rupiah juga melahirkan persaingan ketat di pasar domestik, mengingat produsen Tiongkok menetapkan harga produk tekstil yang murah akibat adanya embargo. Hal ini dinilai menyulitkan produsen dalam negeri bersaing. “Produk tekstil Tiongkok yang lebih murah akibat embargo dapat membanjiri pasar Indonesia, menyulitkan produsen lokal untuk bersaing,” katanya.

    Di sisi lain, Andrew menilai, kondisi industri tekstil kian diperparah oleh krisis di Timur Tengah dan embargo produk Tiongkok. Embargo tersebut menyebabkan kelebihan pasokan produk Tiongkok yang mencari pasar baru, termasuk Indonesia.

    “Produk Tiongkok yang lebih murah dapat menekan harga dan mengancam industri tekstil lokal,” jelas Andrew.

    API juga memberi beberapa rekomendasi untuk pemerintah dalam mengatasi masalah pelemahan rupiah di sektor industri tekstil, yakni:

    1. Diversifikasi Pasar: Mencari pasar ekspor baru untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu
    2. Peningkatan Daya Saing: Meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas produk agar mampu bersaing dengan produk impor
    3. Pengawasan Impor Ilegal: Memperketat pengawasan impor ilegal untuk melindungi industri tekstil lokal

    “Industri tekstil juga perlu beradaptasi dengan mencari alternatif bahan baku lokal, meningkatkan efisiensi, dan fokus pada inovasi produk,” pungkasnya.

    Nasib Industri Tekstil

    Sebagaimana diketahui, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengawali nasib buruknya sejak awal tahun 2024. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat 6 perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi.

    Menjadi persoalan kemudian, PHK menuntut perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon kepada para pekerja. Sepanjang tahun 2024, KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja yang terkena PHK.

    “Untuk periode Januari sampai dengan awal Juni (2024), kami baru ekspose 6 perusahaan tutup dan lebih dari 4 perusahaan tekstil lakukan PHK efisiensi dengan total jumlah PHK 13.800-an pekerja,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dibuhungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.

    Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.

    “80 persen  belum jelas hak-hak pesangonya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 22 persenan,” ungkap Ristadi.

    KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.

    Barang Tekstil Impor

    Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur. Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.

    Kendati belum dapat memberi angka pasti terkait nilai investasi sektor TPT di pasar lokal, Ristadi mengkhawatirkan kebutuhan sandang masyarakat Indonesia terus didorong untuk mengonsumsi barang-barang impor. Menurutnya, hal itu pula yang mematikan industri produsen TPT dalam negeri.

    “Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat disektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” ungkapnya.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi