KABARBURSA.COM - Dalam upayanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya secara bertahap sejak kuartal ketiga 2022, dari 4,25 persen menjadi 6,25 persen pada 23-24 April 2024. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung 21-22 Mei 2024, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan tersebut.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo mencermati dampak kompleks dari kenaikan suku bunga ini terhadap sektor perbankan dan kredit di Indonesia. Karena menurutnya, perubahan suku bunga acuan BI selalu diikuti oleh penyesuaian suku bunga kredit perbankan.
"Tren kenaikan suku bunga acuan BI umumnya diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit perbankan, sedangkan tren penurunan suku bunga acuan BI umumnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan," ujarnya kepada Kabar Bursa, Senin 27 Mei 2024," katanya kepada Kabar Bursa, Senin 27 Mei 2024.
Arianto menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga acuan BI kali ini juga akan membawa dampak serupa. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kecepatan transmisi kebijakan tersebut pada sisi suplai (bank) dan demand (debitur). Kenaikan ini bukan hanya akan mempengaruhi suku bunga kredit bank dalam jangka pendek, tetapi juga akan berdampak lebih luas.
"Dampak jangka pendeknya lebih luas, bukan hanya pada suku bunga kredit bank," tambahnya.
Arianto menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga kredit adalah hasil akhir dari dampak yang dirasakan pada setiap rantai nilai bisnis pembiayaan, baik dari sisi suplai maupun permintaan.
"Pengaruh kenaikan suku bunga acuan pada suku bunga kredit adalah akhir dari dampak komprehensif yang dirasakan pada setiap rantai nilai bisnis pembiayaan," jelasnya.
Dia mengatakan dampak yang lebih luas dirasakan oleh setiap rantai nilai bisnis pembiayaan, baik dari sisi suplai maupun demand di antanya, pertama adalah penurunan margin laba bersih (NIM) bank dalam jangka pendek, karena bank harus menanggung kenaikan biaya dana yang lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan penghasilan bunga kredit.
"Perubahan suku bunga kredit tidak secepat kenaikan suku bunga simpanan," katanya.
Selain itu, kenaikan suku bunga pinjaman dapat menyebabkan penurunan permintaan kredit dari nasabah, terutama untuk sektor-sektor sensitif suku bunga seperti properti dan konsumsi. Kenaikan suku bunga acuan juga berpotensi meningkatkan risiko kredit bermasalah, yang dapat menimbulkan sentimen negatif investor.
"Sentimen negatif investor terhadap sektor perbankan dapat menyebabkan penurunan harga saham bank di bursa efek," jelas Arianto.
Ia mencermati bahwa sentimen negatif investor terhadap sektor perbankan sudah mulai terasa. Saham perbankan besar cenderung belum menunjukkan tren positif meski sudah mengumumkan laporan keuangan dan membagikan dividen yang tidak kecil. "Pertumbuhan pembiayaannya juga cenderung melambat," tambahnya.
Arianto juga mengingatkan bahwa jika tren kenaikan suku bunga ini terus berlanjut, inflasi akan meningkat karena tingginya biaya ekonomi. Namun, di sisi positif, bank akan semakin terasah dalam mengelola aset produktifnya, dan bank sentral serta regulator akan semakin terasah dalam mengendalikan stabilitas sistem keuangan.
"Demikian pula bank sentral dan regulator akan semakin terasah untuk mengendalikan stabilitas sistem keuangan,". pungkas dia.
Catatan Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan kredit perbankan terus melaju. Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit per April 2024 sebesar 13,09 persen secara tahunan (YoY).
Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya, di mana pada Maret 2024 pertumbuhan kredit masih berada di kisaran 12,4 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, pertumbuhan kredit yang signifikan ini didorong oleh sektor-sektor seperti industri, jasa dunia usaha, dan perdagangan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Permintaan kredit yang tinggi juga dipengaruhi oleh faktor penawaran yang kuat, seperti kestabilan pasar keuangan yang mendukung minat perbankan, strategi realokasi aset ke sektor kredit oleh bank, serta penerapan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang memastikan likuiditas perbankan tetap mencukupi.
“Pertumbuhan kredit didukung oleh kinerja baik dari korporasi maupun rumah tangga,” ungkap Perry pada Rabu 22 Mei 2024 lalu.
Ditinjau dari penggunaannya, pertumbuhan kredit didorong oleh kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi yang masing-masing tumbuh sebesar 15,69 persen YoY, 13,2 persen YoY, dan 10,34 persen YoY.
Selain itu, pembiayaan syariah juga mencatat pertumbuhan yang signifikan sebesar 14,88 persen YoY, sementara kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tumbuh sebesar 7,30 persen YoY.