KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga Maret 2024 sebesar Rp393,91 triliun. Angka ini terkoreksi 8,8 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau baru mencapai 19,81 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Menurut Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), realisasi penerimaan pajak dipengaruhi oleh kontribusi penerimaan pajak dari sektor tambang yang mengalami koreksi juga.
Kontribusi penerimaan pajak dari sektor pertambangan terkoreksi sangat dalam yakni sebesar 39,4 persen di kuartal I 2024. Sementara pada periode sebelumnya tercatat tumbuh positif 72,3 persen.
"Kontribusi penerimaan pajak dari sektor tambang terkoreksi karena dua faktor," katanya kepada Kabar Bursa, Sabtu, 11 Mei 2024.
Adapun Prianto merinci dua faktor tersebut meliputi penerimaan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas bumi (migas) terhambat karena dipengaruhi oleh harga dan nilai tukar. Selain itu adanya peningkatan restitusi PPh badan.
Lebih lanjut ia menuturkan bahwa, penerimaan pajak lainnya yang mengalami pertumbuhan minus adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri dan impor.
"Penyebabnya adalah restitusi tahunan yang lebih tinggi dari surplus penerimaan PPN DN," tambah dia.
Dia mengatakan suku bunga BI dapat berdampak pada perekonomian dan masyarakat umum. Suku bunga bank umum akan naik, lalu kenaikan juga terjadi pada produk–produk perbankan (KPR dan jenis kredit lainnya).
"Dari sisi pasar modal, kenaikan suku bunga cenderung memberikan sentimen negatif sehingga menyebabkan pelemahan pasar modal," ungkap dia.
Selain itu, terjadi pergeseran minat masyarakat dari konsumsi ke tabungan karena suku bunga yg naik akan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menyimpan lebih banyak dananya di bank. Dampak lanjutannya adalah peredaran uang tunai di pasar berkurang.
"Konsumsi dalam negeri dapat berkurang sehingga basis PPN menurun. Profit perusahaan juga dapat menurun sehingga PPh badan tergerus," tandas dia.
Senada, pengamat pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, meskipun menjadi penopang penerimaan pajak, ia melihat PPN mengalami koreksi secara neto sebesar -23,8 persen.
“Secara neto artinya setelah dikurangi dengan restitusi. Ada kenaikan restitusi di awal tahun,” katanya kepada Kabar Bursa.
Dia pun mengatakan yang paling dapat menjelaskan fenomena ini adalah pengetatan likuiditas oleh bank sentral melalui kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate.
Tidak hanya BI Rate, suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR) yang sudah naik terlebih dahulu pada akhir 2023 lalu juga menjadi penyebab dari anjloknya penerimaan pajak pada tahun ini. Karena ia menuturkan, ada pengetatan likuiditas secara global, cost of fund meningkat.
Mengingat mereka selama ini punya akses pembiayaan dari luar negeri dan banyak wajib pajak besar di indonesia adalah perusahaan multinasional. “Ini berdampak pada korporasi di Indonesia,” ujar dia.
Lebih lanjut, bagi korporasi, secara teoritikal, mereka akan mengoptimalkan pendanaan dari internal salah satunya dari piutang. Dan salah satu piutang adalah piutang pajak atau restitusi.
Inilah yang menjadi dugaan saya alasan dibalik terjadi peningkatan restitusi di awal tahun. “Peningkatan restitusi artinya ada kenaikan kebutuhan dana bagi perusahaan,” tandas dia.