KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi dalam pada pembukaan hari ini ke level 5.912,06 atau turun sebesar 9,19 persen. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan trading halt selama 30 menit.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan koreksi mendalam IHSG mencerminkan kepanikan pasar pasca libur panjang Lebaran.
Dia menjelaskan penurunan IHSG hari ini lebih disebabkan oleh sentimen eksternal dan reaksi emosional pasar, bukan karena kerusakan fundamental ekonomi dalam negeri.
Dikatakannya, saham-saham berkapitalisasi besar menjadi korban utama kepanikan pasar pasca lebaran. Seperti BBCA yang turun 12,94 persen, BBRI -14,57 persen, TLKM -14,94 persen, BBNI anjlok 13,21 persen, dan ASII dengan penurunan 3,46 persen.
"Penurunan ini sangat dalam karena seluruh sentimen negatif global yang menumpuk selama libur langsung dicerminkan dalam satu sesi perdagangan," ujarnya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Selasa, 8 April 2025.
Dia melanjutkan, faktor utama yang memicu aksi jual besar-besaran ini adalah pengumuman kebijakan tarif dagang baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menaikkan tarif hingga 32 persen terhadap sejumlah produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meski indeks mengalami penurunan cukup dalam, tenyata ada sisi positif yang bisa diambil. Hendra menuturkan, koreksi ini bisa menjadi peluang bagi investor jangka panjang.
"Untuk investor jangka panjang, ini justru menjadi momen penting untuk mencermati peluang akumulasi pada saham-saham dengan fundamental kuat yang terdampak berlebihan," jelasnya.
Sementara bagi trader jangka pendek, lanjut Hendra, diimbau tetap mencermati volatilitas dan menunggu konfirmasi teknikal sebelum kembali masuk pasar.
"Perhatian ke arah kebijakan fiskal dan diplomatik pemerintah Indonesia dalam menyikapi gejolak global akan menjadi kunci arah pasar dalam beberapa hari ke depan," tuturnya.
Sisi positif lainnya adalah tekanan perang dagang menyebabkan harga minyak dunia turun hingga 21 persen. Menurut Hendra, hal ini justru menguntungkan Indonesia sebagai negara importir migas karena dapat menghemat hingga USD4 miliar.
Selain itu, yield US Treasury yang turun mendorong arus modal ke negara berkembang, membuka peluang bagi pasar obligasi Indonesia untuk menguat. Dia bilang, Dolar AS yang melemah juga memberikan ruang stabilisasi bagi nilai tukar Rupiah.
"Di sisi ekspor, Indonesia bisa memanfaatkan momen ini untuk mempercepat diversifikasi pasar ke negara-negara non-AS seperti India, ASEAN, Eropa, dan Afrika. Di tengah situasi ini, tekanan eksternal juga bisa menjadi momentum untuk memperkuat industri domestik melalui substitusi impor dan peningkatan efisiensi," tandasnya.
Adapun secara teknikal, Hendra menyebut IHSG memiliki support kuat di area 5.800 yang menjadi batas psikologis dan teknikal penting, sementara resistance terdekat berada di level 6.000.
Setelah trading halt, kata dia, biasanya kepanikan sedikit mereda dan pelaku pasar mulai rasional sehingga potensi technical rebound bisa terjadi.
Analis Prediksi IHSG Stabil di Level 6.000
Analis Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi memperkirakan tekanan IHSG masih akan berlanjut di sepanjang hari dengan estimasi bertahan di atas level support psikologis 6.000 dengan asumsi ditopang perubahan ARB menjadi 15 persen untuk seluruh fraksi.
Oktavianus menjelaskan bahwa anjloknya IHSG merupakan hasil dari tertundanya sentimen pasar selama libur Lebaran. Ia menyebut bahwa koreksi ini merupakan bentuk penyesuaian pasar atas kondisi global yang memburuk.
“Kami berpandangan seiring dengan IHSG terjadi lag of sentimen saat libur bursa Lebaran, maka sesuai ekspektasi kami terjadi adjustment di pasar dengan tekanan jual yang besar hingga terjadi trading halt atau lebih dari 8 persen IHSG,” ujarnya kepada kabarbursa.com saat dihubungi, Selasa, 8 April 2025.
Oktavianus juga menyoroti langkah regulator yang mengubah batas auto rejection bawah (ARB) menjadi minus 15 persen dan menyesuaikan ambang batas trading halt ke level minus 8 persen. Menurutnya, ini menjadi upaya otoritas pasar untuk menghindari jatuhnya indeks lebih dalam.
“Kami berpandangan ini untuk meredam derasnya aksi jual oleh pasar, jika ARB tetap simetris maka kekhawatiran anjlok lebih dalam sangat terbuka,” tambahnya.
Namun, ia menekankan bahwa tekanan ini bersifat jangka pendek. Menurutnya, akar permasalahan bukan hanya teknikal, melainkan didorong oleh sentimen ekonomi makro dan kebijakan dagang proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ia menyebut bahwa pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk mengembalikan kepercayaan pasar.
"Yang dibutuhkan untuk meredakan tekanan di pasar adalah langkah strategis pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah terhadap USD, meyakinkan pertumbuhan ekonomi tetap di atas lima persen, serta respon strategi dan langkah praktis untuk menjaga surplus dagang Indonesia,” katanya.(*)