Logo
>

iPhone hingga Mobil akan Makin Mahal jika Rupiah Lesu Lama

Ditulis oleh KabarBursa.com
iPhone hingga Mobil akan Makin Mahal jika Rupiah Lesu Lama

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah berisiko untuk terus berlangsung selama 1 hingga 2 bulan ke depan.

    Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, menilai bahwa pelemahan rupiah akan memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor riil dan konsumen di Indonesia, terutama terkait dengan risiko kenaikan harga barang impor.

    Dengan demikian, hal tersebut diperkirakan akan menambah beban bagi konsumen Indonesia yang berminat untuk membeli barang impor seperti ponsel pintar dan mobil yang didatangkan secara utuh atau completely built up (CBU).

    “Barang impor harganya akan naik, misalnya beli iPhone kan kalau di pasar global dalam bentuk dolar Amerika Serikat [US$], berarti lebih mahal,” ujar Tauhid saat dihubungi, Selasa 2 April 2024.

    Tauhid menekankan bahwa barang-barang yang dijual di Indonesia akan menjadi lebih mahal jika memiliki komponen impor. Harga barang dengan komponen impor yang signifikan diperkirakan akan naik seiring dengan pelemahan rupiah, termasuk barang fast-moving customer goods (FMCG).

    Selain itu, ada setidaknya dua dampak lain yang akan dirasakan Indonesia sebagai akibat dari pelemahan rupiah. Pertama, pelaku bisnis yang memiliki pinjaman dari luar negeri akan semakin terbebani oleh suku bunga yang tinggi. Hal ini karena beban utang mereka dalam bentuk rupiah akan meningkat, memaksa mereka untuk mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar utang tersebut. Beban utang ini diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan depresiasi rupiah yang lebih dalam.

    Kedua, pelemahan rupiah tidak selalu berdampak negatif. Hal ini disebabkan oleh potensi penarikan wisatawan asing yang memiliki dolar AS untuk berkunjung ke Indonesia, karena biaya wisata mereka akan menjadi lebih murah.

    BBM, Ongkos Logistik dan Lebaran

    Lebih lanjut, Tauhid menambahkan bahwa beban negara untuk melakukan impor bahan bakar minyak (BBM) akan semakin tinggi seiring dengan pelemahan rupiah. Namun, hal ini tidak secara otomatis akan meningkatkan tarif BBM, yang pada gilirannya akan berdampak pada kenaikan harga logistik.

    Menurutnya, PT Pertamina (Persero) sebagai operator memiliki perhitungan tersendiri. Komponen harga BBM tidak hanya bergantung pada nilai tukar, tetapi juga dipengaruhi oleh harga minyak internasional.

    “Iya, [tidak serta-merta menaikan harga], menunggu tiga bulan harga rata-rata. Ada formula tertentu, ada faktor nilai tukar rupiah, minyak internasional dan faktor alpha. Jadi adjustment berapa persen, Pertamina biasanya regulasi tiga bulan akan dievaluasi, terutama produk nonsubsidi,” katanya.

    Tauhid mengidentifikasi penyebab dari pelemahan atau depresiasi Rupiah terjadi karena tiga hal. Pertama, arus keluar dan masuk di pasar Surat Berharga Negara (SBN) belum stabil.

    “Kemarin pelaku pasar Rp33,3 triliun withdraw, meskipun ada arus masuk Rp26,3 triliun, artinya selisih jauh di pasar SBN walau ada masuk ke pasar saham, tetapi tidak terkompensasi dengan baik. Uang masuk di pasar bond dan pasar keuangan belum seimbang,” ujarnya.

    Kedua, ketidakpastian ihwal respon Bank Indonesia terhadap nilai mata uang atau rate currency dari Federal Reserves atau The Fed.

    Ketiga, pelemahan rupiah secara musiman dipengaruhi oleh periode libur Idulfitri 1445H/Lebaran 2024. Dalam kaitan itu, permintaan dolar AS makin tinggi untuk aktivitas liburan.

    “Ini faktor musiman sehingga Rupiah makin turun. Dengan situasi ini, satu hingga 2 bulan masih relatif depresiasi terjadi walaupun tidak besar.”

    Sekadar catatan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka langsung anjlok dalam pembukaan perdagangan pasar spot hari ini, Selasa 2 April 2024, melampaui level terlemah sejak 2020.

    Rupiah spot dibuka langsung tersungkur ke Rp15.963/US$ pada pukul 09:05 WIB, menjadi valuta Asia dengan pelemahan terdalam di kawasan pagi ini, kehilangan 0,42 persen nilai dari posisi penutupan hari sebelumnya.

    Level itu adalah posisi rupiah terlemah sejak April 2020 ketika pandemi Covid-19 merebak dan akhirnya membawa rupiah melampaui Rp16.000/US$. Level terlemah rupiah sepanjang masa terjadi pada 23 Maret 2020 yaitu di Rp16.310/US$.

    Bank Indonesia sudah angkat bicara menilai pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan ini sebagian besar adalah dampak dari pelemahan yuan China. Pada saat yang sama, permintaan valas di pasar domestik tengah meningkat sejurus dengan musim pembagian dividen dan masih kuatnya arus keluar modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

    "Rupiah lumayan agak tertekan dari kemarin kelihatannya rupiah banyak terdampak dari pelemahan CNY [yuan China]. Sementara dari domestik ada permintaan USD (dolar AS) terkait repatriasi dan masih outflow-nya asing di pasar SBN. Rilis data inflasi Indonesia kemarin yang di atas ekspektasi yang banyak disebabkan oleh volatile food, ikut mendorong pelemahan rupiah," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Sekuritas Bank Indonesia, pagi ini, Selasa 2 April 2024.

    Edi mengatakan bank sentral terus masuk ke pasar untuk menjaga agar terdapat keseimbangan permintaan dan penawaran valas di pasar.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi