KABARBURSA.COM - PT Sumber Energi Andalan Tbk, dengan kode saham ITMA, telah mengambil langkah strategis dengan mengakuisisi PT Mahadaya Prima Energy (MPI) melalui anak perusahaannya, PT Alpha Energi Pratama (AEP), pada 11 April 2025.
Dalam struktur kepemilikan baru ini, AEP menguasai 75 persen saham MPI, sementara sisanya dimiliki oleh PT Pandawa Artha (23 persen) dan Removate Nusantara Energi (2 persen). Meskipun akuisisi ini tidak berdampak material terhadap operasional atau keuangan ITMA, langkah ini menunjukkan ekspansi perusahaan ke sektor perdagangan hasil pertambangan seperti minyak bumi, gas alam, nikel, dan batu bara.
Namun, prospek industri batu bara pada tahun 2025 diperkirakan menghadapi tantangan signifikan. Bank Dunia memproyeksikan penurunan konsumsi batu bara global sebesar 0,3 persen pada tahun ini, dengan penurunan permintaan terutama dari China, Eropa, dan Amerika Serikat.
Meskipun demikian, permintaan dari India dan negara-negara ASEAN diperkirakan tetap stabil. Harga batu bara juga diprediksi mengalami penurunan, dengan estimasi rata-rata harga antara USD 110 hingga USD 135 per ton sepanjang 2025.
Di sisi lain, produksi batu bara Indonesia diperkirakan meningkat sebesar 8,1 persen pada tahun 2025. Kenaikan produksi ini dapat menambah tekanan pada harga batu bara global, mengingat permintaan yang melemah.
Pemerintah Indonesia juga mulai menerapkan Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai harga minimum untuk semua transaksi batu bara mulai 1 Maret 2025, dengan tujuan untuk mengendalikan harga dan memastikan stabilitas pasar domestik.
Dalam konteks ini, akuisisi MPI oleh ITMA dapat dilihat sebagai langkah diversifikasi portofolio perusahaan ke sektor energi yang lebih luas. Dengan memperluas bisnis ke perdagangan minyak bumi, gas alam, dan nikel, ITMA dapat mengurangi ketergantungan pada batu bara dan memanfaatkan peluang di sektor energi lainnya yang memiliki prospek lebih cerah.
Langkah ini menunjukkan adaptasi perusahaan terhadap dinamika pasar energi global dan komitmen untuk tetap relevan dalam industri yang terus berkembang.
RI Diprediksi Kebanjiran Batu Bara
Produksi batu bara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2025 meskipun harga komoditas ini mengalami tekanan signifikan di pasar global. Menurut analis BRI Danareksa Sekuritas Erindra Krisnawan, volume produksi nasional diprediksi tumbuh sebesar 8,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) untuk tahun fiskal 2025.
Pertumbuhan ini menjadikan Indonesia tetap sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, bersanding dengan Australia, Rusia, dan Kolombia. Namun, peningkatan produksi yang konsisten ini juga menimbulkan kekhawatiran akan semakin membebani harga batu bara di pasar internasional.
Dalam laporan riset terbarunya, BRI Danareksa Sekuritas menyebutkan bahwa harga batu bara Newcastle berpotensi bergerak di kisaran USD 110 per ton, bahkan bisa merosot hingga USD 90 per ton pada 2025.
Tekanan harga ini salah satunya disebabkan oleh melemahnya permintaan dari Tiongkok, yang selama ini menjadi konsumen utama batu bara dunia. China sedang dalam transisi menuju energi yang lebih bersih dan perlambatan ekonominya turut memengaruhi penyerapan energi fosil, termasuk batu bara.
Meskipun demikian, prospek ekspor batu bara Indonesia masih memiliki peluang untuk tetap bertahan melalui pasar alternatif. India menjadi harapan utama bagi pelaku industri batu bara nasional. Negara dengan penduduk terbesar di dunia ini diproyeksikan akan meningkatkan impornya sebesar 5 persen yoy pada 2025, mengikuti tren pertumbuhan pada tahun sebelumnya.
Kebutuhan energi yang besar, khususnya untuk sektor industri dan pembangkit listrik, menjadikan India sebagai pasar penting yang mampu menyerap kelebihan suplai batu bara dari Indonesia.
Selain India, beberapa negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan kawasan Asia Tenggara juga dipandang masih memiliki permintaan yang stabil terhadap batu bara.
Negara-negara ini, meskipun perlahan-lahan juga melakukan transisi energi, masih membutuhkan batu bara sebagai bagian dari bauran energi mereka dalam jangka menengah. Kondisi ini membuka ruang bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas volume ekspor meski dengan harga jual yang lebih rendah.
Kenaikan produksi nasional yang konsisten dengan profil produksi yang relatif datar dari negara pengekspor lain memberikan Indonesia keunggulan dalam memenuhi permintaan global.
Namun demikian, tekanan harga yang terus terjadi menjadi tantangan tersendiri bagi emiten batu bara dan pelaku industri, terutama dalam menjaga margin keuntungan. Oleh karena itu, strategi diversifikasi pasar dan efisiensi produksi akan menjadi kunci dalam menjaga daya saing di tengah dinamika global yang terus berubah.
Gerak Dinamis Saham ITMA
Jika melihat dari pergerakan sahamnya pada Selasa, 15 April 2025, ITMA bergerak cukup dinamis di tengah sentimen pasar yang bervariasi, khususnya dari sektor energi dan pertambangan. Pada perdagangan terakhir, ITMA ditutup menguat 2,47 persen ke level Rp830 per saham, naik 20 poin dari harga penutupan sebelumnya di Rp810.
Sepanjang hari, saham bergerak fluktuatif dengan mencatatkan harga tertinggi di Rp855 dan menyentuh level terendah di Rp800, dengan nilai transaksi mencapai Rp11 miliar dan total volume sebanyak 130,93 ribu lot.
Dalam jangka pendek, saham ITMA menunjukkan tren positif. Kinerja mingguan mencatatkan kenaikan 4,40 persen, dan dalam rentang satu bulan terakhir melonjak 16,90 persen. Hal ini mengindikasikan adanya minat beli dari investor, kemungkinan didorong oleh aksi korporasi terbaru seperti akuisisi PT Mahadaya Prima Energy (MPI) yang memperkuat lini bisnis ITMA di sektor perdagangan hasil tambang minyak, gas, nikel, dan batu bara.
Akuisisi ini dinilai strategis karena sejalan dengan arah diversifikasi usaha ITMA di tengah fluktuasi harga komoditas global.
Namun, dalam jangka menengah dan panjang, pergerakan harga saham ITMA masih terlihat beragam. Selama tiga bulan terakhir, saham ini mengalami koreksi 9,29 persen, sementara dalam rentang enam bulan hanya naik tipis sebesar 0,61 persen.
Jika dilihat dari pergerakan setahun terakhir, saham ini turun 7,78 persen. Meski demikian, performa dalam lima tahun masih tergolong positif dengan kenaikan signifikan mencapai 86,10 persen, menunjukkan bahwa secara historis, ITMA masih mampu memberikan keuntungan jangka panjang bagi investor yang sabar.
Year to date, ITMA telah mencatatkan kenaikan 15,28 persen, yang bisa menjadi sinyal pemulihan setelah tekanan sepanjang 2024. Saham ini juga masih memiliki ruang kenaikan hingga menyentuh kembali level tertingginya dalam 52 minggu terakhir di Rp1.000. Dibandingkan dengan titik terendah setahun terakhir di Rp464, kenaikan ke posisi saat ini menggambarkan pemulihan yang cukup kuat.
Dengan rata-rata harga perdagangan di Rp837, saat ini saham ITMA diperdagangkan sedikit di bawah rata-rata tersebut, menandakan potensi konsolidasi atau peluang entry bagi investor yang mengincar saham sektor energi dengan eksposur pada pertambangan dan diversifikasi usaha.
Secara keseluruhan, saham ITMA berada dalam fase yang menjanjikan, terutama dengan langkah strategis perusahaan dalam memperluas portofolio bisnisnya. Namun, investor tetap perlu mencermati dinamika harga komoditas global, terutama batu bara dan minyak, serta arah kebijakan pemerintah terkait energi, yang dapat mempengaruhi kinerja fundamental dan harga saham ini ke depan.
Saham Menarik dengan Risiko Tinggi
Saham PT Sumber Energi Andalan Tbk (ITMA) memberikan gambaran menarik dari sisi fundamental, meskipun diwarnai dengan sejumlah anomali yang patut dicermati oleh investor. Di satu sisi, perusahaan ini mencatatkan net profit yang terlihat besar secara trailing twelve months (TTM), mencapai Rp36 miliar, namun pencapaian tersebut tidak didukung oleh performa operasional yang solid.
Hal ini tercermin dari pendapatan tahunan yang hanya sekitar Rp4 miliar, dengan gross profit sekitar Rp3 miliar. Fakta bahwa ITMA memiliki net profit lebih besar dari revenue—dan bahkan mencetak net profit margin fantastis 113,98 persen—menandakan bahwa laba yang dihasilkan kemungkinan besar bersumber dari pos non-operasional, seperti keuntungan investasi atau penyesuaian nilai aset.
Secara valuasi, saham ITMA tampak menarik dari sisi price to book value (PBV) yang hanya 0,35 kali. Artinya, harga saham saat ini masih jauh di bawah nilai buku per saham yang sangat tinggi, yakni Rp2.363,92. Namun, investor perlu menyadari bahwa angka ini bisa menyesatkan bila aset yang menjadi penopangnya tidak cukup likuid atau tidak mendatangkan arus kas yang sehat.
Hal ini sejalan dengan tingginya price to cashflow ratio (841,79 kali) dan negatifnya price to free cashflow ratio (-804,53), yang mengindikasikan bahwa perusahaan mengalami kesulitan menghasilkan kas dari aktivitas operasional, bahkan dalam jangka pendek. Kondisi ini diperparah dengan current ratio dan quick ratio yang sangat rendah di level 0,43, yang menunjukkan likuiditas jangka pendek ITMA tergolong lemah.
Sementara itu, rasio utang tergolong konservatif, dengan debt to equity ratio hanya 0,18 dan total debt to total assets sebesar 0,15. Namun, solvabilitas yang baik ini tidak serta-merta mencerminkan kekuatan finansial karena arus kas tetap menjadi tantangan utama. Interest coverage ratio yang negatif (-0,90) menandakan bahwa laba operasional bahkan belum mampu menutupi beban bunga pinjaman, memperjelas ketergantungan terhadap pendanaan eksternal untuk menutupi kekurangan modal kerja.
Dari sisi profitabilitas, return on assets (0,94 persen) dan return on equity (1,11 persen) masih sangat rendah, bahkan return on capital employed (ROCE) dan return on invested capital (ROIC) tercatat negatif. Ini memperlihatkan bahwa efisiensi pengelolaan aset dan modal perusahaan belum optimal, sekalipun perusahaan mencatatkan laba bersih.
Ketidakseimbangan ini juga diperlihatkan melalui cash conversion cycle yang tidak wajar, yakni negatif 15.035 hari, disebabkan oleh days payable outstanding yang sangat besar, yaitu 15.044 hari—angka yang secara akuntansi hampir mustahil terjadi di perusahaan normal dan menunjukkan potensi kejanggalan dalam struktur utangnya kepada pemasok.
Secara historis, pergerakan saham ITMA cukup volatil. Dalam lima tahun terakhir, harga saham naik signifikan sebesar 86,10 persen, namun dalam satu tahun terakhir justru turun 7,78 persen. Tahun ini sendiri, saham ITMA sudah naik 15,28 persen, menunjukkan ada minat pasar meskipun sentimen dasarnya belum sepenuhnya mendukung.
Kenaikan harga dalam jangka pendek kemungkinan dipicu oleh sentimen akuisisi dan potensi bisnis energi, termasuk tambang dan minyak, yang sedang dieksplorasi lebih jauh oleh manajemen.
Dari perspektif investor, saham ITMA bisa menjadi menarik bagi mereka yang memiliki toleransi risiko tinggi dan pandangan spekulatif jangka pendek, terutama jika ada katalis positif terkait proyek energi atau sinyal perbaikan struktur arus kas perusahaan.
Namun bagi investor fundamental jangka panjang, saham ini menyimpan banyak tantangan yang belum terselesaikan, terutama dalam aspek kualitas pendapatan, efisiensi operasional, dan arus kas bebas.
Dengan valuasi pasar saat ini sekitar Rp829 miliar dan EV yang lebih besar di Rp1,396 triliun, investor juga harus mempertimbangkan apakah nilai tersebut sebanding dengan kemampuan riil perusahaan dalam menghasilkan keuntungan berkelanjutan.
Dengan demikian, meski ITMA menyimpan potensi dalam cerita transformasi bisnis energi, investor perlu tetap selektif dan menunggu sinyal pemulihan nyata di sisi operasional dan arus kas sebelum menjadikannya sebagai pilihan utama dalam portofolio jangka panjang.(*)