KABARBURSA.COM - Pemberlakuan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang mengatur cuti melahirkan selama enam bulan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan pengusaha dan pekerja. Kebijakan ini, meskipun bertujuan mulia untuk melindungi kesehatan ibu dan anak, dapat memiliki dampak yang tidak diinginkan, terutama bagi pekerja perempuan yang baru menikah.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Payaman Simanjuntak, mengatakan secara substansi, UU KIA sebenarnya tidak membawa banyak hal baru. "Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 sudah mengatur perlindungan upah bagi karyawan yang sakit, termasuk karyawan yang melahirkan," ujarnya kepada KabarBursa, Selasa, 11 Juni 2024.
Dalam aturan tersebut, karyawan yang sakit tetap menerima upah penuh selama tiga bulan pertama, kemudian 75 persen selama tiga bulan kedua, 50 persen pada tiga bulan ketiga, dan 25 persen pada tiga bulan keempat. Suami juga diizinkan cuti dua hari bila istrinya melahirkan.
Namun, perbedaan utama dalam UU KIA adalah kesan bahwa cuti enam bulan tersebut bersifat otomatis. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa pengusaha akan lebih enggan mempekerjakan perempuan yang baru menikah atau yang berpotensi hamil dalam waktu dekat.
“Jika cuti enam bulan itu menjadi diberlakukan otomatis, pengusaha bisa menjadi bersikap enggan menerima pekerja wanita yang baru kawin," kata Payaman.
Pemberlakuan cuti enam bulan ini diprediksi akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2023, jumlah pekerja perempuan di Indonesia mencapai 54.615.804 orang. Dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang menurut data Kementerian Ketenagakerjaan sebesar Rp 3,1 juta, kebijakan baru ini diperkirakan akan menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi perusahaan.
Dalam perhitungan kasar, jika semua pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan sesuai ketentuan UU, total kerugian ekonomi yang dialami perusahaan dapat mencapai Rp888,87 triliun. Namun, kerugian ini tidak akan terjadi sekaligus, melainkan bergantung pada jumlah pekerja perempuan yang mengambil cuti secara berkala.
Tantangan bagi Perusahaan
Peneliti Senior Pusat Riset Kependudukan BRIN, Andi Ahmad Zaelany, mengatakan prusahaan menghadapi tantangan besar dalam memastikan kelangsungan operasional mereka. Meskipun ada ketentuan yang mengatur perlindungan upah, bagi perusahaan kecil dan menengah, membayar gaji penuh selama enam bulan tanpa kontribusi dari karyawan yang sedang cuti bisa menjadi beban finansial yang berat.
Mereka harus mencari cara untuk menutup kekosongan tersebut, baik melalui rekrutmen sementara atau redistribusi tugas, yang keduanya memerlukan biaya dan usaha tambahan.
“Akan sangat berat bagi perusahaan yang komposisi tenaga kerjanya didominasi pekerja perempuan. Apabila banyak yang cuti hamil pada saat yang bersamaan, akan kekurangan banyak tenaga kerja dan menanggung beban pengupahan yang besar,” kata And kepada KabarBursa.
Andi mencontohkan perusahaan garmen dan pabrik rokok yang rentan terhadap dampak ini. Di industri padat karya seperti ini, perempuan sering menjadi tulang punggung keluarga dan memegang peran penting dalam proses produksi.
Pada 2022, data Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa industri garmen dan tekstil di Indonesia mempekerjakan 5,2 juta orang, dan mayoritasnya adalah perempuan. Perempuan menjadi tulang punggung industri ini, bekerja di berbagai lini, mulai dari produksi hingga distribusi. Adapun Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia mengungkapkan data 2023 menunjukkan sebesar 86 persen dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau adalah kaum perempuan.
Perbandingan dengan Negara Lain
Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, kebijakan cuti melahirkan di Indonesia masih relatif baru. Banyak negara maju memiliki kebijakan serupa, tetapi mereka juga memiliki infrastruktur dan dukungan pemerintah yang kuat untuk menanggung sebagian besar biaya tersebut. Misalnya, di negara-negara Eropa, cuti melahirkan sering kali didanai oleh asuransi sosial atau dana publik, sehingga beban pada perusahaan berkurang.
“Cuti melahirkan ini hal yang sudah biasa di negara maju seperti di Eropa. Contohnya Jerman memberikan cuti sampai dua tahun dengan tetap memperoleh gaji. Setelah selesai cutinya dia kembali kerja dengan posisi maupun jabatan yang sama,” kata Andi.
Namun di sisi lain, Indonesia belum memiliki sistem pendukung yang sekuat itu. Oleh karena itu, pemberlakuan cuti enam bulan bisa menambah tekanan pada perusahaan yang sudah berjuang dengan tantangan ekonomi lainnya, seperti inflasi dan ketidakpastian pasar. Tanpa dukungan yang memadai, perusahaan kecil dan menengah akan kesulitan menyesuaikan diri dengan kebijakan ini. (alp/prm)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.