KABARBURSA.COM - Presiden RI Joko Widodo menyatakan selama 10 tahun terakhir, anggaran sebesar Rp361 triliun dialokasikan untuk Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan telah digunakan untuk membiayai layanan kesehatan bagi lebih dari 92 juta peserta JKN setiap tahunnya, mulai dari usia dini hingga lansia, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Adapun hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo saat menghadiri sidang tahunan MPR-DPR di Kompleks Parlement, Jakarta 16 Agustus 2024.
“Upaya perlindungan bagi masyarakat ekonomi bawah juga telah memberi manfaat luas bagi masyarakat. Rp361 triliun anggaran Kartu Indonesia Sehat selama 10 tahun ini telah digunakan untuk membiayai layanan kesehatan lebih dari 92 juta peserta JKN per tahun, mulai dari usia dini sampai lansia yang tersebar di seluruh Indonesia,” ucap Jokowi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat 16 Agustus 2024.
Upaya perlindungan sosial bagi masyarakat ekonomi bawah di Indonesia menunjukkan hasil yang signifikan dan manfaat luas. Program-program tersebut telah memberikan dukungan yang besar dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan keterampilan kerja.
Selain itu, anggaran Rp113 triliun untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) selama 10 tahun telah dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan lebih dari 20 juta siswa per tahun, mencakup jenjang pendidikan dari SD hingga SMA/SMK di seluruh tanah air.
Program Keluarga Harapan (PKH) dengan anggaran Rp225 triliun selama 10 tahun juga telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi sekitar 10 juta keluarga kurang mampu per tahun, memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka.
Lanjutnya Jokowi juga memaparkan, anggaran Rp60,3 triliun untuk Program Pra-Kerja selama 5 tahun telah digunakan untuk menambah keahlian bagi 18,8 juta pekerja di seluruh Indonesia. Program ini berfokus pada peningkatan keterampilan yang diperlukan dalam dunia kerja, membantu tenaga kerja untuk lebih siap menghadapi tantangan ekonomi.
Inisiatif-inisiatif ini membuktikan komitmen pemerintah dalam memastikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan berkelanjutan bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Program-program tersebut telah memainkan peran kunci dalam menciptakan kesempatan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia.
“Ini adalah pembangunan yang kita cita-citakan bersama. Pembangunan yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Pembangunan yang memberi dampak bagi masyarakat luas. Pembangunan yang membuka peluang untuk tumbuh bersama,” tutup Jokowi.
Readmisi Kartu Indonesia Sehat (KIS)
Catatan BPJS Watch sepanjang masa pemerintahan Jokowi adanya 109 kasus diskriminasi yang dialami oleh pasien BPJS, meliputi pemberian obat yang tidak sesuai, re-admisi, serta penghentian kepesertaan.
Di puskesmas, tindakan diskriminasi kerap terjadi saat pasien harus membeli obat tambahan karena tidak mendapatkan jumlah yang cukup dari fasilitas kesehatan. Ini membebani mereka yang seharusnya dijamin oleh negara.
Sementara itu, di rumah sakit, re-admisi menjadi keluhan utama. Pasien yang seharusnya masih dalam perawatan sering kali diminta pulang meski belum pulih sepenuhnya, hanya untuk kembali lagi beberapa hari kemudian.
Menurut Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, praktik ini merupakan bentuk manipulasi keuangan oleh rumah sakit yang memanfaatkan sistem pembiayaan paket.
Pembiayaan BPJS yang menggunakan sistem paket, misalnya untuk penyakit demam berdarah yang dibatasi hingga Rp15 juta, menyebabkan rumah sakit enggan melanjutkan perawatan pasien yang membutuhkan perawatan lebih lama. Ketika biaya perawatan sudah mencapai batas tersebut, pasien dipulangkan meski kondisinya belum membaik.
"Seharusnya pasien tetap dirawat hingga kondisinya stabil," ujar Timboel 2023 lalu.
Namun, karena biaya sudah melebihi batas paket, rumah sakit terpaksa menghentikan perawatan untuk menghindari kerugian.
Perlakuan diskriminatif lainnya termasuk antrean berjam-jam di poli umum untuk pasien BPJS Kesehatan, serta klaim bahwa stok barang medis habis meskipun kenyataannya masih tersedia. Karena ketidaktahuan, pasien sering kali menerima perlakuan ini tanpa perlawanan.
Data Ombudsman mengonfirmasi temuan BPJS Watch, dengan 700 pengaduan diterima sepanjang 2021-2022, mayoritas terkait penolakan pasien BPJS di rumah sakit akibat alasan kuota terbatas.
Timboel menegaskan bahwa perlakuan semacam ini tidak boleh terjadi, merujuk pada UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 pasal 32.
Ia juga menjelaskan bahwa diskriminasi ini terjadi karena rendahnya tarif Inasibijis atau INA-CBGs di rumah sakit dan kapitasi di puskesmas, yang belum mengalami kenaikan sejak 2016 hingga 2022.
Tarif INA-CBGs adalah paket layanan berdasarkan diagnosis dan prosedur medis yang mencakup seluruh sumber daya yang digunakan dalam perawatan pasien. Kapitasi, di sisi lain, adalah tarif standar yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke puskesmas atau dokter praktek.
Misalnya, jika ada 1.000 peserta di sebuah puskesmas dan tarif per pasien Rp5.000, BPJS Kesehatan akan membayar total Rp5 juta, terlepas dari jumlah pasien yang datang berobat.
Tahun 2023 lalu, Kementerian Kesehatan meningkatkan tarif INA CBGs sebesar 9,5 persen dengan harapan dapat mengurangi diskriminasi tersebut. Namun, Timboel skeptis.
"Motif bisnis sering kali terkait dengan keserakahan. Walau tarif dinaikkan, celah kecurangan tetap ada. Ini yang harus diatasi oleh pemerintah, pengawas rumah sakit, BPJS Kesehatan, dan dinas kesehatan," tegasnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto, mengakui masih adanya perilaku diskriminatif terhadap pasien BPJS. Ia mengatakan pihaknya terus mengimbau manajemen fasilitas kesehatan untuk memperlakukan pasien BPJS secara setara.
Jika ada kesulitan, Agustian meminta pasien untuk mengadu melalui layanan call center 165, aplikasi JKN Mobile, kantor cabang BPJS Kesehatan terdekat, atau akun media sosial resmi BPJS Kesehatan.
Menanggapi video viral yang dibuat oleh tenaga kesehatan Puskesmas Lambunu 2, Kecamatan Bolano, Sulteng, BPJS Kesehatan sudah meminta tindakan tegas terhadap pihak terkait.
"Kami berharap pemerintah dan manajemen fasilitas kesehatan turut mengimbau tenaga kesehatan untuk menjunjung etika profesi dalam melayani seluruh pasien, termasuk peserta JKN," ungkapnya dalam pernyataan tertulis.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, dalam kesempatan terpisah, menyatakan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap pasien BPJS di lapangan. Ia menduga konten viral tersebut sengaja dibuat untuk tujuan sensasional.
"Kenyataannya, kami menjamin tidak ada perbedaan layanan antara pasien BPJS dan non-BPJS," katanya.
Namun, jika ada tenaga kesehatan yang terbukti diskriminatif, mereka akan diberikan surat peringatan atau sanksi oleh manajemen rumah sakit.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat bahwa pengaduan melalui call center atau media sosial tidak efektif. Ia menyarankan agar BPJS Kesehatan menyediakan nomor pengaduan khusus di setiap fasilitas kesehatan, yang mudah diakses oleh pasien.
"Jika ada pasien yang merasa didiskriminasi, mereka bisa langsung menghubungi BPJS Kesehatan. Biar BPJS yang berbicara langsung dengan rumah sakit," katanya.
Pasien, lanjutnya, tidak seharusnya dituntut untuk mengetahui semua hal. Bahkan dirinya yang sudah bertahun-tahun mengadvokasi BPJS Kesehatan pun tidak hafal nama-nama obat yang tercantum di Formularium Nasional.
"Sistem harus dibuat lebih masif, agar masyarakat lebih mudah melapor jika mengalami diskriminasi," ujarnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya menindak tegas tenaga kesehatan yang mendiskriminasi pasien. Pemberhentian bisa menjadi solusi yang memberikan efek jera, dibandingkan hanya dengan peringatan yang tak berdampak jangka panjang.
"Saya rasa harus ada hukuman tegas agar tenaga kesehatan berpikir dua kali sebelum bertindak diskriminatif," tegasnya. (*)