KABARBURSA.COM - Rencana kerja sama antara Indonesia dan China dalam mengembangkan teknologi penanaman padi di Tanah Air, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dianggap memiliki banyak tantangan.
Khudori, seorang ekonom pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menyatakan bahwa tantangan pertama adalah tingkat adaptasi yang diperlukan dalam pengenalan teknologi pertanian dari China di Indonesia.
Meskipun teknologi tersebut memiliki potensi untuk membawa kemajuan, perbedaan dalam iklim, sifat tanah, dan kondisi lokal dapat menjadi hambatan yang signifikan.
"Lebih dari itu, untuk proses adaptasi seperti ini pasti membutuhkan input dari ahli-ahli lokal agar berhasil. Tanpa keterlibatan ahli-ahli lokal, peluang gagal cukup besar," jelas Khudori dalam keterangan tertulisnya, Rabu 24 April 2024.
Khudori juga membandingkan wacana tersebut dengan pengalaman serupa yang dialami oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2007. Pada saat itu, ada kerja sama antara perusahaan Indonesia dan China di bidang perbenihan dengan impor benih padi hibrida.
Pada awalnya, kerja sama ini tampak menjanjikan. Namun, hasil akhirnya tidak memuaskan karena beberapa daerah yang ditanami oleh petani mengalami serangan penyakit.
Menurut Khudori, pemerintah seharusnya lebih memahami bahwa pengenalan sistem usaha tani baru tidak selalu berjalan lancar dan memerlukan inovasi tambahan, terutama dalam hal ketahanan terhadap penyakit.
"Ahli di China bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tetapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil. Hal ini mesti disadari para pengambil kebijakan." lanjutnya.
Kedua, Khudori juga menyoroti aspek ekonomi dari rencana tersebut. Meskipun produktivitas padi di China lebih tinggi daripada di Indonesia, biaya usaha tani di Indonesia cenderung lebih tinggi.
"Problem pertanian padi di Indonesia adalah biaya usahatani yang mahal. Terutama untuk sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Dua pos itu sekitar 75 persen—80 persen dari total produksi biaya usaha tani. Ini yang membuat harga padi/beras Indonesia mahal dan tak kompetitif dengan Thailand atau Vietnam," tekannya.
Atas dasar itu, dia mempertanyakan, apakah pengenalan teknologi pertanian padi dari China akan mampu menurunkan biaya-biaya tersebut secara signifikan.
"Tidak ada pengaruhnya terhadap biaya sewa lahan dan tenaga kerja di luar wilayah yang memang diusahakan sebagian besar petani kecil dengan lahan yang sempit," sangsinya.
Ketiga, lokasi pengembangan teknologi penanaman padi China ini juga menjadi pertimbangan penting. Jika rencana ini dilaksanakan di Kalimantan Tengah, terutama di bekas lahan gambut yang telah diusulkan untuk pengembangan pertanian sejak era Orde Baru, Khudori menilai hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali.
"Sebenarnya sudah ada hasil kajian sejumlah ahli bahwa dari sejuta ha [hektare] itu paling banyak yang bisa dikembangkan untuk pertanian tanpa memerlkukan teknologi reklamasi dan ameliorasi rumit tidak lebih dari 20 persen."
"Jika diterapkan teknologi reklamasi dan ameliorasi yang rumit kawasan pengembangan bisa diperluas sebanyak-banyaknya 30 persen. Jadi, total kemungkinan bisa dikembangkan di 50 persen dari kawasan. Namun, yang terakhir ini pun untuk bisa mendapatkan hasil yang mantap dan stabil butuh waktu 10—15 tahun. Biayanya pun pasti mahal," jelas Khudori.
Keempat, Khudori menekankan bahwa rencana ini harus menjadi pendorong bagi semua pihak untuk berbenah. Inisiatif-inisiatif lokal baik oleh para ahli, petani, maupun pemerintah, untuk terus memperbaiki pertanian padi.
Untuk itu, menurutnya, penting bagi pemerintah untuk membangun ekosistem yang memungkinkan tumbuh-kembangnya benih yang baik.
"Salah satunya adalah penetapan harga yang rasional. Benih yang baik pasti harganya mahal. Kalau penetapan harganya tidak rasional seperti sekarang, yang terjadi adalah benih yang tak terjamin alias 'abal-abal'. Petani dirugikan."
Tak hanya itu, inisiatif para pengembang benih padi lokal juga dianggap penting, karena mereka dapat merakit benih padi yang sesuai dengan masalah yang dihadapi petani secara riil.
Wacana kerja sama teknologi penanaman padi dengan China pertama kali diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan awal pekan ini.
Menurutnya, rencana kerja sama ini telah disepakati dalam Pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pekan lalu.
"Kita minta mereka memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sukses swasembada dan mereka bersedia," kata Luhut dalam unggahan Instagram pribadi miliknya @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu 24 April 2024.
Luhut menjelaskan kerja sama ini akan dilakukan secara bertahap unuk digarap di 1 juta ha lahan di Kalimantan Tengah. Namun, dia menyebut bahwa pemerintah masih mencari mitra lokal, dengan offtaker atau pemasok kebutuhan industri ataupun pasarnya adalah Perum Bulog.
"Kita berharap 6 bulan dari sekarang mungkin kita sudah mulai dengan proyek ini. Tinggal kita ajak anak-anak muda Indonesia yang dibidang pertanian untuk ikut disitu," jelas Luhut.
"Jadi kalau program ini jalan, kita sebenarnya minta 4—5 ton aja kalau kita punya di Pulang Pisau, Kalteng itu 400.000 sudah hampir 2 juta [ton] bisa kita teruskan dengan [bertanam] yang lain. Iya sudah selesai masalah kita untuk ketahanan pangan untuk padi dan beras. Kita akan menjadi lumbung pangan nanti ke depannya," terangnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.