KABARBURSA.COM - Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menegaskan konsep awal Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera untuk menjadi solusi atas persoalan kesenjangan kepemilikan rumah yang masih tinggi. Selain itu program Tapera mengedepankan prinsip gotong royong.
Meski demikian, program Tapera masih menjadi polemik di masyarakat. Persoalannya masalah pembayaran iuran yang dibebankan pada upah karyawan kelas menengah yang masih menjadi pro dan kontra, serta pemberi kerja.
"Kenapa harus ikut menabung? Karena prinsip gotong royong ada di UU, pemerintah membantu, lalu masyarakat yang punya rumah juga bantu masyarakat yang belum punya rumah, semua membaur. Kalau itu bisa dikonstruksikan dalam UU Tapera sebenarnya ini mulia. indah sekali," kata Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho, Jumat, 31 Mei 2024.
Namun menurut Heru, tidak semua karyawan wajib menjadi peserta Tapera, melainkan hanya pekerja yang penghasilannya paling sedikit sebesar upah minimum yang wajib menjadi peserta. Sementara itu, pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta.
Karena selama ini, kemampuan pemerintah dengan skema subsidi dan pembiayaan menyediakan sekitar 200.000 rumah. Padahal, pertumbuhan permintaan rumah setiap tahun mencapai 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang belum punya rumah.
"Sampai kapan deadlock selesai? maka itu butuh desain besar, yang sudah punya rumah sebagian tabungannya subsidi biaya KPR untuk orang yang belum punya rumah, supaya bunga tetap terjaga di level lebih rendah dari bunga KPR komersial, sekarang 5 persen," papar Heru.
Tapera Menurut Peraturan
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan PP No. 21/2024 tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Tapera. Dalam PP No. 21/2024, besaran iuran peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Penjelasannya tertulis dalam Pasal 15 ayat (2): "Besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.”
Pengelolaan dana iuran oleh BP Tapera sendiri mulai dilakukan sejak 2021 dan merupakan bagian dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP yang sebelumnya dimandatkan kepada Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP).
PP tersebut juga mengatur bahwa iuran Tapera diberlakukan untuk seluruh pekerja, baik pegawai negeri maupun swasta, pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, serta TNI/Polri.
Iuran yang berasal dari ASN/PNS maupun pekerja yang menerima gaji dari APBN/APBD akan diatur oleh Kementerian Keuangan melalui koordinasi bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sementara itu, iuran Tapera dari pegawai BUMN, BUMD, BUMDes, dan karyawan swasta akan diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan, dan iuran dari pekerja mandiri akan diatur langsung oleh BP Tapera.
Tanggapan dari Pengusaha
Menanggapi hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) secara tegas menyatakan keberatan dengan aturan terbaru iuran Tapera sebesar total 3 persen, lantaran dinilai hanya menambah beban baru bagi pekerja dan pelaku usaha.
"Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.21/2024. Hal ini lantaran tambahan beban bagi pekerja sebesar 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji yang tidak diperlukan," ungkap Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani.
Shinta pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakukan PP ini, sebab dalam catatan Apindo pemberi kerja telah menanggung beban pungutan sebesar 18,24 persen-19,74 persen dari penghasilan pekerja.
Perinciannya yakni iuran berupa Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999) berupa Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen, dan Jaminan Pensiun 2 persen.
Lalu, Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004) berupa Jaminan Kesehatan 4 persen, hingga Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003) sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.
"Beban ini makin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar," tegas Shinta.
Lebih lanjut, Shinta juga menyatakan Apindo telah berdiskusi dengan berbagai pihak terkait seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mempercepat perluasan program MLT untuk kebutuhan perumahan pekerja.
Dengan demikian, dirinya menyarankan agar pemerintah bisa memanfaatkan secara maksimal Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari dana program JHT BPJS Ketenagakerjaan.
"Untuk itu, Apindo terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI/Polri."
"Jika pemerintah tetap akan menerapkannya diharapkan dengan dana yang terkumpul dari ASN, TNI/POLRI untuk manfaat mereka yang sepenuhnya ada dalam kontrol pemerintah. Mengingat pekerja yang telah menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digunakan untuk program perumahan," ujarnya.