KABARBURSA.COM - Center of Reform on Economics (CORE) menilai bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada jumlah kelas sosial ekonomi, melainkan juga pada kebijakan pemerintah yang efektif mendorong aktivitas perekonomian.
Piter Abdullah, Direktur Riset CORE, mengungkapkan bahwa meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah masyarakat kelas menengah menurun 17,13 persen menjadi sebanyak 47,85 juta orang pada 2024, andil pemerintah terhadap hal ini masih lebih utama.
"Kalau soal mampu (mencapai pertumbuhan ekonomi), ya mampu karena pertumbuhan ekonomi bukan ditentukan oleh jumlah kelas menengah," ujar Piter kepada Kabar Bursa, Jumat, 30 Agustus 2024.
Namun, Piter menambahkan bahwa kelas masyarakat, yang dalam hal ini kelas menengah, memang memainkan peran krusial dalam mendukung konsumsi dan investasi. Apalagi penurunan jumlah mereka pasca-pandemi merupakan tantangan yang signifikan. Namun, dampak tersebut bukanlah satu-satunya faktor penentu arah pertumbuhan ekonomi.
"Yang lebih berpengaruh adalah adanya terobosan kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan perputaran uang melalui berbagai kegiatan ekonomi produktif," jelasnya.
Menurut Piter, terobosan kebijakan yang efektif harus fokus pada beberapa aspek utama meliputi mengatasi tingginya biaya ekonomi, mengurangi inefisiensi, dan menurunkan suku bunga yang tinggi. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat merangsang aktivitas ekonomi, menciptakan nilai tambah, dan membuka lapangan pekerjaan baru.
“Jika pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat, maka ekonomi akan kembali berputar dengan lancar. Ini akan mendorong pertumbuhan kelas menengah yang lebih stabil dan berkelanjutan di masa depan,” paparnya.
Dengan harapan bahwa kebijakan-kebijakan ini segera diimplementasikan, tutur dia, diharapkan bahwa perputaran ekonomi akan meningkat, menciptakan lebih banyak peluang kerja, dan pada akhirnya mendorong pemulihan serta pertumbuhan kembali kelas menengah di Tanah Air.
Middle Income Trap
Sementara itu, Ekonom senior Chatib Basri baru-baru ini menekankan pentingnya memanfaatkan momentum yang ada sebelum bonus demografi mulai menyusut antara tahun 2025 hingga 2050. Menurutnya, kebijakan yang akan datang kemungkinan besar akan mirip dengan yang ada sekarang atau pada masa pemerintahan sebelumnya. Yang membedakan adalah aspek kepemimpinan, bukan masalah ekonomi itu sendiri.
Chatib menegaskan bahwa presiden mendatang harus memperkuat dua aspek penting. Pertama adalah pemahaman mendalam dan keterlibatan aktif dalam isu-isu geopolitik. Dunia saat ini dipenuhi ketidakpastian, dan kemampuan untuk menavigasi tantangan global sangat krusial.
Kedua, kemampuan eksekusi yang efektif. Indonesia perlu segera menyelesaikan masalah besar untuk menghindari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai status negara maju pada 2050 dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun.
Kualitas kepemimpinan, kemampuan untuk mendengarkan, membuat keputusan yang tepat, dan membentuk tim yang solid akan menjadi penentu utama. Chatib menegaskan, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa keputusan dan eksekusi yang tepat adalah kunci sukses.
Ekonom senior lainnya, Raden Pardede, Co-founder Creco Research, menambahkan pandangannya. Menurutnya, presiden mendatang harus fokus pada keluar dari jebakan pendapatan menengah dan mencapai status negara maju, dengan target utama pada periode 2035-2040. Batas waktu ini berhubungan dengan median usia produktif masyarakat Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada masa tersebut.
Kualitas kepemimpinan, kemampuan untuk mendengarkan, membuat keputusan yang tepat, dan membentuk tim yang solid akan menjadi penentu utama. Chatib menegaskan, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa keputusan dan eksekusi yang tepat adalah kunci sukses.
Ekonom senior lainnya, Raden Pardede, Co-founder Creco Research, menambahkan pandangannya. Menurutnya, presiden mendatang harus fokus pada keluar dari jebakan pendapatan menengah dan mencapai status negara maju, dengan target utama pada periode 2035-2040. Batas waktu ini berhubungan dengan median usia produktif masyarakat Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada masa tersebut.
Raden menilai bahwa untuk keluar dari jebakan ini, pemerintah yang akan datang perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5 persen selama delapan kuartal terakhir menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi sedang mandek. Pemimpin dan pembuat kebijakan harus mampu membawa pertumbuhan ekonomi ke kisaran 5-6 persen untuk mengatasi jebakan pendapatan menengah.
Untuk mencapai target tersebut, presiden mendatang harus memastikan inflasi tetap di bawah 3 persen, mengurangi defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen dengan mengurangi ketergantungan pada investasi portofolio, dan menjaga defisit APBN serta utang pada tingkat yang aman. Efisiensi birokrasi juga harus ditingkatkan untuk menekan biaya investasi dan mendorong produktivitas melalui penguasaan teknologi tinggi. (*)