KABARBURSA.COM - Menurut data dari Mandiri Institute, situasi finansial kelompok kelas menengah di Indonesia, terutama di kalangan kelas menengah bawah, menunjukkan kecenderungan yang semakin terkikis oleh pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman. Konsekuensinya, ruang belanja untuk kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian, sepatu hingga kendaraan antara lain sepeda motor dan mobil semakin tersisih.
Pada Mei 2024, setelah melewati puncak musim perayaan, ternyata tingkat belanja masyarakat Indonesia masih tinggi, sebagaimana halnya selama Ramadan dan Lebaran. Pada Mei 2023, pengeluaran masyarakat untuk berbelanja di supermarket, yang merupakan indikator aktivitas belanja makanan dan minuman, mencapai 26,1 persen. Angka ini jauh lebih tinggi bahkan dibandingkan dengan periode Ramadan-Lebaran tahun sebelumnya yang sekitar 18,6 persen.
Jika dibandingkan dengan awal 2023, persentase pengeluaran untuk makanan telah meningkat menjadi 13,9 persen dari penghasilan. Lonjakan harga beras dan kebutuhan dapur lainnya sepanjang 2023, yang masih berlanjut hingga saat ini, terlihat menguras pengeluaran kelas menengah di Indonesia.
Sebagai ilustrasi, harga beras mencapai rekor kenaikan tertinggi pada November 2023 dengan lonjakan hingga 18 persen, dan terus memperbarui rekor pada bulan Februari ketika harga makanan pokok mencapai Rp18.000 per kilogram, mencatat angka tertinggi dalam sejarah penjualan beras di Indonesia.
"Terjadi peningkatan dua kali lipat dalam pengeluaran untuk kebutuhan pokok, yang mengakibatkan keterbatasan dalam belanja untuk kebutuhan sekunder. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan untuk membeli barang-barang non-pokok," kata Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri.
Berdasarkan Mandiri Spending Index yang menilai tingkat belanja dan tabungan per individu, terlihat bahwa pada kelompok menengah (konsumen dengan tabungan rata-rata Rp1 juta hingga Rp10 juta), indeks tabungan kelompok ini turun di bawah 100 pada bulan Mei. Tren penurunan ini telah terjadi sejak bulan November tahun sebelumnya, terjadi pada saat harga beras melonjak secara signifikan.
Pada saat yang sama, indeks belanja turun tajam setelah Lebaran berlalu. Hal berbeda terjadi di kelas bawah dan kelas atas. Pada kelas ekonomi bawah yakni konsumen dengan rata-rata tabungan di bawah Rp1 juta, terlihat bahwa indeks tabungan mencatat peningkatan dengan laju belanja yang juga meningkat.
Kelompok bawah itu sempat tertekan nilai tabungannya ketika terjadi lonjakan harga bahan pokok. Namun, berhasil naik lagi ditengarai karena pengucuran bantuan sosial oleh pemerintah yang masif.
Sedang kelompok ekonomi atas, mencatat kenaikan indeks tabungan sejak Januari lalu ketika indeks belanjanya melandai. Ada dugaan, kelompok atas yakni konsumen dengan nilai tabungan di atas Rp10 juta, masih terjaga daya belinya didukung pendapatan dari investasi yang mereka lakukan di instrumen portfolio seperti saham atau obligasi.
"Peningkatan konsumsi per individu di antara kelompok menengah, yang mencakup persentil 40-80 persen, dari tahun 2019 hingga 2023, tercatat di bawah angka rata-rata nasional," ujar Andry Asmoro.
Peningkatan konsumsi kebutuhan pokok di kalangan kelas menengah mencerminkan pola konsumsi yang lebih defensif, yang menandakan pelemahan daya beli masyarakat Indonesia, mengingat mayoritas populasi dan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut penelitian yang pernah dirilis oleh Muhammad Afdi Nizar, seorang peneliti dari Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, selama periode 2010-2025, diperkirakan bahwa konsumsi dari kelompok kelas menengah akan memberikan kontribusi sekitar 2,37 persen per tahun terhadap pertumbuhan konsumsi nasional.
Dalam hal pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 7,22 persen per tahun, kontribusi dari kelas menengah diestimasi mencapai sekitar 1,39 persen rata-rata per tahun. Pada 2025, jumlah kelas menengah di Indonesia diperkirakan akan mencapai 142,7 juta orang.
Pendapatan Pajak Negara
Penurunan konsumsi di kalangan kelas menengah akan berdampak pada pendapatan negara dari sektor pajak, terutama karena kontribusi yang cukup besar dari kelas menengah terhadap pendapatan pajak. Terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagai contoh, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Eko Wicaksono dan rekan dalam studi yang berjudul "Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia", kontribusi dari kelas menengah diperkirakan mencapai 43 persen dari total PPN.
Tren ini sudah terlihat sejak awal tahun ini. Setoran PPN dan pajak barang mewah (PPnBM) terpantau mengalami penurunan, bersamaan dengan penurunan yang terjadi pada pajak penghasilan badan usaha (PPH Badan).
Setoran PPN dan PPnBM turun sebesar 16,1 persen pada bulan Maret menjadi Rp155,8 triliun. Kontribusi PPN neto dalam negeri, yang menjadi penyumbang utama terhadap penerimaan pajak dengan porsi 22,1 persen pada kuartal pertama tahun 2024, turun sebesar 23,7 persen year-on-year. Sedangkan secara bruto, PPN dalam negeri pada kuartal pertama hanya tumbuh sebesar 5,8 persen year-on-year dibandingkan dengan 34,7 persen pada kuartal pertama tahun 2023. Penerimaan PPH pada kuartal pertama, baik secara bruto maupun neto, mengalami penurunan masing-masing sebesar 21,5 persen dan 30 persen, sehingga kontribusi pajak ini terhadap total penerimaan pajak kuartal pertama hanya mencapai 14,5 persen.
Kemungkinan penurunan konsumsi di kalangan kelas menengah diperkirakan akan berlanjut tahun depan dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dalam situasi ketidakpastian global yang masih tinggi, dengan kekhawatiran akan terjadi resesi ekonomi yang masih kuat, tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah di Indonesia tampaknya akan semakin berat.
Ketidakpastian ekonomi global, di tengah rezim suku bunga yang tinggi dan pelemahan permintaan minyak dunia, menunjukkan bahwa pemilik dana global masih mengantisipasi kemungkinan terjadinya resesi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang sangat didorong oleh konsumsi rumah tangga termasuk konsumsi kelas menengah, membutuhkan stimulus yang lebih besar agar penurunan daya beli kelompok ini tidak semakin dalam, yang pada akhirnya dapat berdampak pada konsumsi secara keseluruhan.