Logo
>

Kelas Menengah Menyusut: Apa Kata Pengusaha Makanan dan Minuman?

Ditulis oleh Dian Finka
Kelas Menengah Menyusut: Apa Kata Pengusaha Makanan dan Minuman?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menurun menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Angka ini menurun signifikan dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Pada tahun 2024, kelas menengah menyusut menjadi 17,13 persen dari total populasi, sementara pada 2019, persentasenya adalah 21,45 persen.

    Penurunan ini dikeluhkan oleh asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI). Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman, mengungkapkan bahwa industri makanan dan minuman telah merasakan dampak dari menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah.

    "Memang benar data BPS menunjukkan penurunan signifikan pada kelas menengah, dari 21 persen menjadi 17 persen. Kami dari industri juga merasakan dampak yang cukup berat pada daya beli kelas bawah," ujar Adhi dalam acara Food Ingredients Asia Indonesia 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu, 4 September 2024.

    Adhi menambahkan bahwa dampak penurunan daya beli ini sangat terasa. Kenaikan harga dan tingginya pengeluaran rumah tangga telah membebani kelas bawah, yang merupakan bagian besar dari konsumen. Situasi ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah untuk meningkatkan daya beli kelas bawah.

    Pemerintah diharapkan dapat melanjutkan atau menggalakkan kembali program bantuan langsung tunai (BLT) seperti yang dilakukan sebelumnya, untuk merangsang pasar dan meningkatkan konsumsi masyarakat.

    “Saat ini, fokus masyarakat lebih banyak pada pangan pokok, sementara konsumsi terhadap pangan sekunder mengalami penurunan. Ini menjadi tantangan besar bagi industri,” ungkap Adhi.

    Di sisi lain, industri makanan dan minuman (mamin) masih menunjukkan pertumbuhan, terutama pada pangan pokok. Meskipun pertumbuhan secara keseluruhan diperkirakan sekitar 5,5 persen, sektor pangan sekunder menghadapi kesulitan. Pengurangan konsumsi pangan sekunder belum dapat diukur secara akurat karena keterbatasan data yang ada.

    Secara keseluruhan, sektor industri merasakan dampak negatif, dengan industri makanan dan minuman masih bersyukur dapat tumbuh meskipun menghadapi tantangan berat dari sektor lainnya, terutama industri garmen yang mengalami kesulitan lebih besar.

    Dalam menghadapi situasi ini, pelaku industri berharap ada dukungan dan kebijakan yang dapat mendorong pemulihan daya beli serta merangsang kembali konsumsi masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

    Pengusaha Makanan dan Minuman Mengeluh

    Adhi juga menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menambah beban bagi industri makanan dan minuman, karena sebagian besar bahan baku yang digunakan masih bergantung pada impor.

    “Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi masalah besar bagi industri makanan dan minuman, mengingat banyak bahan baku yang diimpor,” ujar Adhi.

    Menurut data BPS, nilai impor untuk empat komoditas utama—gandum, susu, garam, dan gula—mencapai USD9 miliar. Adhi menyebut angka ini sebagai beban signifikan bagi industri makanan dan minuman.

    “Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini, berdasarkan perhitungan perbankan, telah mencapai 6,5 persen sejak awal tahun. Jika dihitung dari nilai tukar Rp16.000 per dolar AS, penurunan ini berarti sekitar Rp800 per dolar. Dengan total impor USD 9 miliar untuk empat komoditas utama, beban industrinya mencapai sekitar Rp500 triliun,” jelasnya.

    Meskipun demikian, Adhi menambahkan bahwa industri menengah besar masih memiliki daya tahan dan tidak segera menaikkan harga jual produk. Namun, industri kecil sangat rentan terhadap kondisi ini dan terpaksa menaikkan harga. “Industri kecil harus segera menyesuaikan harga, dan ini menjadi masalah besar,” lanjutnya.

    Adhi juga berharap pemerintah dapat mengintervensi pelemahan nilai tukar rupiah agar tidak melebihi Rp16.500 per dolar AS. “Dengan depresiasi yang mencapai 6,5 persen year to date, pemerintah harus berusaha menjaga agar nilai tukar rupiah tidak semakin terpuruk,” tukasnya.

    Deflasi Berbulan-bulan

    Diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut pada Mei-Juni 2024 bukan merupakan indikasi melemahnya daya beli masyarakat.

    Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia (BI), Juli Budi Winantya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa hal itu juga bukan tanda-tanda resesi ekonomi.

    Menurut Juli, deflasi yang berlangsung beberapa bulan terakhir ini terutama dipengaruhi oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan bergejolak (volatile food). Ia menjelaskan bahwa komponen ini mengalami penurunan inflasi signifikan, turun menjadi di bawah 5 persen setelah sebelumnya sempat mencapai angka 9 persen.

    “Ketika berbicara mengenai daya beli, kita seharusnya melihat inflasi inti. Namun, dalam konferensi pers kemarin, inflasi inti menunjukkan kondisi yang stabil. Hal ini terlihat dari ekspektasi inflasi yang tetap terjaga, kapasitas perekonomian yang masih memadai, dan inflasi impor yang terkendali,” jelas Juli.

    Di sisi lain, Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, menegaskan bahwa deflasi selama tiga bulan berturut-turut ini lebih disebabkan oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan yang bergejolak.

    Erwin menjelaskan bahwa sebelumnya, inflasi harga pangan sempat mencatatkan kenaikan yang signifikan, yang mengakibatkan peningkatan harga dan memicu kekhawatiran terkait keadaan darurat pangan.

    “Dulu sempat ada isu darurat pangan karena harga pangan yang melonjak, membuat hidup sulit akibat harga makanan yang tinggi. Namun, sekarang harga pangan sudah turun secara konsisten, dan itulah yang menyebabkan terjadinya deflasi pada Indeks Harga Konsumen (IHK),” ujar Erwin.

    Meskipun demikian, Erwin menekankan bahwa Bank Indonesia tetap waspada terhadap dinamika ekonomi yang terjadi, terutama terkait perkembangan inflasi setiap bulannya. Namun, ia kembali menegaskan bahwa deflasi yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh koreksi pada komponen volatile food.

    “Kami tidak mengabaikan kondisi ini, kami terus memantau situasi. Namun, indikator-indikator IHK sejauh ini menunjukkan bahwa penurunan inflasi terutama terjadi pada komponen volatile food,” pungkas Erwin. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.