Logo
>

Kelas Menengah Merosot, Sektor Ritel dan Emiten INDF Tertekan

Ditulis oleh Dian Finka
Kelas Menengah Merosot, Sektor Ritel dan Emiten INDF Tertekan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2024, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia merosot menjadi 47,85 juta jiwa.

    Persentase populasi kelas menengah turun menjadi 17,13 persen, padahal pada tahun 2019 angkanya mencapai 21,45 persen. Lalu, emiten mana yang paling terdampak?

    Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) memberikan sinyal adanya tekanan berat.

    Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman, menegaskan bahwa sektor makanan dan minuman kini mengalami imbas serius akibat menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah.

    “Data BPS memang mengonfirmasi penurunan yang signifikan pada kelas menengah, dari 21 persen menjadi 17 persen. Industri kami pun terkena imbas, terutama pada daya beli masyarakat di level bawah,” ujar Adhi di acara Food Ingredients Asia Indonesia 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis 5 September 2024.

    BPS mencatat, pada tahun 2014, kelompok kelas menengah diidentifikasi dengan pengeluaran antara Rp 1.059.573 hingga Rp 5.146.495, dengan modus pengeluaran mencapai Rp 1.708.900.

    Namun, di tahun 2024, definisi kelas menengah telah bergeser. Kini, mereka yang masuk kategori ini memiliki pengeluaran antara Rp 2.040.262 hingga Rp 9.909.844, dengan modus pengeluaran sebesar Rp 2.056.494.

    Emiten INDF Terdampak?

    Analis Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta, menyampaikan pada Sektor cyclical yang mencakup industri-industri yang bergantung pada siklus ekonomi, saat ini menunjukkan perbaikan relatif. Meskipun ada tantangan dari sektor non-cyclical yang masih tertinggal, sektor cyclical terus mengalami perbaikan yang positif.

    Berbeda dengan sektor non-cyclical yang masih mengalami perlambatan, terutama terkait dengan faktor-faktor seperti penurunan permintaan yang bisa dikaitkan dengan kondisi perekonomian domestik.

    "Sektor cyclical ini masih Masih relatively improving ya sebenarnya masih relatively improving, beda dengan yang non cyclical yang memang masih relatively lagging," ujar Nafan kepada Kabar Bursa di Jakarta, Kamis 5 September 2024.

    Dalam laporan terbaru, terdapat beberapa emiten di sektor cyclical yang mengalami uptrend, menandakan pemulihan yang kuat di sektor ini. Sementara itu, di sektor non-cyclical, terdapat dua emiten yang juga mengalami kenaikan, yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Perusahaan ini tetap menunjukkan kinerja positif, meskipun terjadi perlambatan permintaan di pasar.

    "Dimana produk-produknya itu sudah melengkap di tengah masyarakat Ketika misalnya terjadi perlambatan permintaan," jelasnya.

    INDF, yang merupakan salah satu pemain utama dalam industri makanan dan minuman, tetap memperlihatkan ketahanan yang kuat. Produk-produk mereka telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga permintaan tetap stabil meskipun ada perlambatan di sektor lainnya.

    Kinerja Saham INDF

    Saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dalam satu bulan terakhir menunjukkan pergerakan positif. Namun, ini datang di tengah tantangan berat yang terus menekan laba bersih perusahaan.

    Dalam 30 hari terakhir, saham INDF naik sebesar 5,46 persen, menjadikan harga saham mencapai Rp6.275 per lembar. Peningkatan ini menggambarkan kepercayaan investor yang mulai pulih. Namun, dalam rentang waktu setahun, harga saham masih menunjukkan tren menurun dengan penurunan sebesar 10,04 persen.

    Valuasi saham Indofood saat ini menunjukkan price-to-earnings ratio (PER) tahunan sebesar 7,15, yang berarti harga saham relatif lebih murah jika dibandingkan dengan laba yang dihasilkan perusahaan.

    Forward PE ratio tercatat lebih rendah di angka 5,35, mengindikasikan ekspektasi pasar bahwa kinerja perusahaan akan lebih baik di masa mendatang. Dengan price-to-book value (PBV) sebesar 0,90, saham INDF diperdagangkan di bawah nilai buku perusahaan, yang dapat dianggap sebagai indikasi undervalued.

    Indofood memiliki laba per saham (EPS) trailing twelve months (TTM) sebesar Rp732,88, sedangkan nilai buku per saham saat ini berada di Rp6.943,42. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki nilai intrinsik yang kuat, meskipun kinerja keuangannya belum sepenuhnya tercermin dalam harga saham.

    Indofood Sukses Makmur mencatatkan current ratio sebesar 1,79 pada kuartal terakhir, yang menunjukkan bahwa perusahaan memiliki aset lancar yang cukup untuk menutupi kewajiban jangka pendeknya. Quick ratio yang berada di angka 1,39 menunjukkan likuiditas yang memadai, di mana aset likuid perusahaan hampir mendekati kewajiban lancarnya. Dengan debt to equity ratio sebesar 1,21, perusahaan memiliki hutang yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitasnya, tetapi masih dalam batas yang dapat diterima.

    Dari sisi profitabilitas, Indofood berhasil mencatatkan return on assets (ROA) sebesar 3,20 persen, yang menunjukkan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari aset yang dimiliki. Return on equity (ROE) tercatat sebesar 10,56 persen, menunjukkan pengembalian yang sehat kepada pemegang saham. 

    Gross profit margin pada kuartal terakhir mencapai 35,07 persen, yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengelola biaya produksi. Selain itu, operating profit margin dan net profit margin masing-masing sebesar 20,12 persen dan 5,30 persen, menunjukkan bahwa perusahaan masih mampu menghasilkan laba operasional yang baik meskipun menghadapi tekanan dari berbagai faktor eksternal.

    Indofood memberikan dividen sebesar Rp267 per saham untuk trailing twelve months (TTM) dengan dividend yield sebesar 4,25 persen.

    Payout ratio yang hanya mencapai 30,41 persen menunjukkan bahwa perusahaan masih menyimpan sebagian besar laba untuk reinvestasi atau cadangan. Tanggal ex-dividend terbaru adalah 9 Juli 2024, yang menandakan bahwa pemegang saham yang memiliki saham sebelum tanggal tersebut berhak menerima dividen.

    Dalam laporan laba rugi, Indofood mencatat pendapatan (revenue) sebesar Rp112,91 triliun untuk TTM, dengan gross profit sebesar Rp38,55 triliun. Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization atau EBITDA tercatat sebesar Rp26,441 triliun, yang menunjukkan profitabilitas operasional perusahaan. Sementara itu, laba bersih (net income) untuk TTM mencapai Rp6,435 triliun, mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan keuntungan bersih meskipun ada fluktuasi dalam pendapatan.

    Dalam neraca keuangan, perusahaan mencatatkan total aset sebesar Rp201,18 triliun dengan total kewajiban sebesar Rp98,26 triliun. Hutang jangka pendek tercatat sebesar Rp25,02 triliun, sementara hutang jangka panjang sebesar Rp48,99 triliun. Total ekuitas perusahaan mencapai Rp60,96 triliun, yang menunjukkan posisi keuangan yang cukup kuat meskipun ada utang yang signifikan.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.