KABARBURSA.COM - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, membantah tudingan yang menyebut pemerintah sengaja menyuntik mati sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Kata dia, tuduhan itu tidak beralasan, apalagi Kemenperin telah membuat peta jalan industri dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), Kebijakan Industri Nasional (KIN), dan Making Indonesia 4.0.
Melalui peta jalan tersebut, kata Febri, Kemenperin berusaha mengembalikan masa kejayaan industri TPT dalam negeri sebagaimana sebelumnya.
Kebijakan strategis dalam peta jalan tersebut, kata Febri, telah sebagaimana terwujudnya fasilitasi pengembangan lanjut pusat desain dan pusat inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing industri tekstil.
Selain itu, Kemenperin juga aktif dalam meningkatkan kemampuan, kualitas dan efisiensi industri TPT termasuk industri kecil dan industri menengah melalui pelatihan desain dan teknologi proses termasuk untuk mewujudkan industri hijau.
Febri menegaskan, Industri TPT tetap akan menjadi andalan di sektor manufaktur untuk penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja yang high skill mengikuti perkembangan tekologi TPT dunia. Hal itu menjadi bantahan atas dugaan suntik mati industri TPT
"Tidak ada dalam roadmap Kemenperin (RIPIN, KIN dan Making Indonesia 4.0) yang menyebutkan bahwa industri TPT diarahkan menuju sunset industry. Justru sebaliknya, industri TPT didorong untuk menjadi industri yang kuat dan berdaya saing dengan penerapan teknologi 4.0," tegas Febri, Jumat, 22 Juni 2024.
Dia menuturkan, industri TPT serta industri elektronika dan industri pembuatan microchip merupakan industri yang juga harus terus dikembangkan secara bersama untuk mendukung industri manufaktur nasional.
Ketiga industri tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia terutama industri TPT yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, dia menegaskan, majunya salah satu sektor industri tersebut tidak boleh mengorbankan industri lainnya.
"Jangan sampai industri TPT disubstitusi dengan industri elektronik dan industri pembuatan microchips karena industri tersebut sama-sama penting. Jadi, salah satu jangan ada yang dikorbankan," ujarnya.
Febri menyebut, berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, sebenarnya telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri TPT nasional.
"Sejak pemberlakuan Permendag 36/2023, kinerja industri TPT tumbuh bagus. Jadi, jangan pernah berpersepsi bahwa industri TPT tidak bisa rebound atau dianggap sebagai sunset industry," tuturnya.
Untuk diketahui, industri TPT merupakan sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47 persen terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada tahun 2023.
Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT berkontribusi sebesar 5,84 persen terhadap PDB sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar USD11,6 miliar dengan surplus mencapai USD3,2 miliar.
Dampak dari pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor dibandingkan sebelum pemberlakuan Permendag 36/2023.
Impor pakaian jadi yang pada Januari dan Februari 2024 berturut turut sebesar 3,53 ribu ton dan 3,69 ribu ton, turun menjadi 2,20 ribu ton pada bulan Maret 2024 dan 2,67 ribu ton di pada bulan April 2024.
Sementara itu, impor tekstil juga mengalami penurunan, dari semula 193,4 ribu ton dan 153,2 ribu ton pada Januari dan Februari 2024, menjadi 138,2 ribu ton dan 109,1 ribu ton pada Maret dan April 2024.
"Demikian juga jika membandingkan data impor secara year on year (YoY), terjadi penurunan impor pakaian jadi yang sebelumnya sebesar 4,25 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 2,2 ribu ton pada Maret 2024," Menperin menerangkan.
Efektivitas pemberlakuan Permendag 36/2023 tersebut juga terlihat dari PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang sepanjang tahun 2023 tumbuh negatif (triwulan I hingga IV 2023 tumbuh negatif), telah tumbuh positif sebesar 2,64 persen (YoY) di triwulan I 2024.
Pertumbuhan tersebut juga sejalan dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada industri tekstil dan industri pakaian jadi yang terus mengalami peningkatan.
Khusus untuk industri tekstil, pada April dan Mei 2024 terjadi peningkatan hingga mencapai posisi ekspansi dua bulan berturut-turut pertama kali sejak IKI dirilis pada November 2022.
Namun begitu, kondisi di lapangan saat ini telah berbeda, dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa perusahaan industri TPT.
Febri menyampaikan, pihaknya meminta agar koordinasi pembuat kebijakan di Kementerian dan Lembaga terkait industri TPT nasional senantiasa diperkuat untuk mencapai target dalam roadmap terkait industri TPT.
Penguataan koordinasi terutama dengan meningkatkan sensitivitas para pengambil kebijakan atas urgensi masalah banjir impor produk hilir yang sedang dihadapi oleh industri TPT saat ini.
PHK Bayangi Industri TPT
Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat enam perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan empat perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi.
Menjadi persoalan kemudian, PHK menuntut perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon kepada para pekerja. Sepanjang tahun 2024, KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja yang terkena PHK.
"Untuk periode Januari sampai dengan awal Juni (2024), kami baru ekspose 6 perusahaan tutup dan lebih dari 4 perusahaan tekstil lakukan PHK efisiensi dengan total jumlah PHK 13.800-an pekerja,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.
Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut, hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.
"80 persen belum jelas hak-hak pesangonya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 22 persenan," ungkap Ristadi.
KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.
Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur.
Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
"Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat di sektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” pungkasnya. (and/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.