KABARBURSA.COM - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 12 persen dianggap sebagai upaya untuk menutup defisit anggaran. Sekmenko Susiwijono Moegiarso mengatakan, kenaikan tersebut merupakan hak pemerintahan baru yang sudah terpilih.
Adapun rasio perpajakan yang ditetapkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 sudah mempertimbangkan besaran PPN senilai 12 persen. Hal itu disampaikan Susi di kantornya, hari ini.
“Semua asumsi dan antisipasi telah dijadikan dasar dalam menyusun postur anggaran. Jadi sebenarnya memang sudah dihitung dengan cermat, semua ini melalui proses panjang,” ujar Susi.
Ia menambahkan bahwa penyusunan postur tersebut melibatkan proses panjang yang mempertimbangkan dinamika perekonomian terkini.
Namun, Susi menegaskan bahwa keputusan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan kewenangan Pemerintahan Baru. Dengan masuknya tim sinkronisasi Prabowo-Gibran dan penunjukan mereka sebagai Wakil Menteri Keuangan II, Susi berharap proses transisi akan berjalan lebih baik.
“Pak Wamen II sudah melakukan diskusi panjang, jadi sangat tepat untuk memastikan transisi berjalan lancar,” tambah Susi.
“Secara formal, mereka sudah terlibat dalam perumusan ini. Saya yakin, dengan begitu, transisi akan lebih mulus,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 telah diatur pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pasal 7 UU HPP menyebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen berlaku mulai 1 April 2022, dan 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Dalam KEM-PPKF 2025, penerimaan perpajakan dipatok sebesar 10,09 persen sampai 10,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Penerimaan pajak ditetapkan pada rentang 8,86 persen - 9,05 persen, dan penerimaan kepabeanan serta cukai sebesar 1,23 persen-1,25 persen dari PDB.
Sementara itu, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditargetkan 2,05 persen-2,07 persen, dengan hibah diharapkan sekitar 0,001 persen-0,002 persen dari PDB.
Belanja negara dipatok sebesar 14,59 persen-15,18 persen dari PDB pada tahun 2025. Belanja pemerintah pusat berada pada kisaran 10,92 persen-11,17 persen, dan transfer ke daerah ditetapkan pada angka 3,67 persen-4,01 persen dari PDB.
Dengan demikian, keseimbangan primer diharapkan mencapai defisit 0,30 persen-0,81 persen dari PDB.
Adapun defisit anggaran diharapkan berada di kisaran 2,29 persen-2,82 persen dari PDB. Pembiayaan investasi dipatok pada defisit 0,30 persen-0,50 persen, sedangkan rasio utang diperkirakan antara 37,82 persen-38,71 persen dari PDB.
Masih Menunggu Keputusan
Wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 masih belum menunjukkan kepastian. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa keputusan akhir terkait kenaikan ini masih menunggu pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Menjelang pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2025 yang kurang dari satu bulan lagi, belum ada kabar pasti mengenai kenaikan tarif PPN tersebut.
“Kami semua menunggu konsep pemerintahan baru [termasuk PPN 12 persen],” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit, Rabu 24 Juli 2024.
Kampanye Prabowo – Gibran yang optimis untuk meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax-to-GDP ratio) hingga 23 persen menjadi sorotan. Sebagai perbandingan, tax ratio Indonesia pada 2023 baru mencapai 10,2 persen. Untuk tahun depan, Kementerian Keuangan telah mematok rasio pajak di rentang 10,09 persen hingga 10,29 persen dari PDB.
“Untuk mencapai tax ratio 23 persen, kami menunggu pemerintahan baru jelaskan bagaimana caranya,” kata Dolfie.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah peningkatan ini akan dicapai dengan menaikkan tarif PPN atau melalui sumber-sumber penerimaan lain selain pajak. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menaik-turunkan tarif pajak sebagaimana amanat Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dengan persetujuan DPR. Dalam beleid yang diteken Sri Mulyani, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Pasal 7 Bab IV beleid tersebut menyebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Adrianto Dwi Nugroho, Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen bukan menjadi satu-satunya sumber penerimaan negara. Pemerintah juga memiliki bea, cukai, PPh Pasal 21, PPh Badan, PPh Pasal 22 Impor, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Meskipun ada seruan untuk menunda kenaikan tarif PPN karena dikhawatirkan akan membebani masyarakat menengah, Adrianto menegaskan bahwa pemerintah perlu menyiapkan peraturan baru jika ingin menunda kenaikan tersebut.
“Ketentuannya paling lambat 1 Januari 2025 sudah harus naik. Artinya Pengusaha Kena Pajak sudah harus menerapkan pada masa pajak Januari 2025. Jika mau menunda, berarti harus terbit Perppu penundaan kenaikan tarif tersebut,” tuturnya, Rabu, 24 Juli 2024.(*)