KABARBURSA.COM – Gelinding Bitcoin tidak lagi secepat sebelumnya. Pergerakannya saat ini memperlihatkan fase yang lebih rapuh. Data menunjukkan bahwa Bitcoin memang basih bergerak di level tinggi secara nominal, tapi struktur pergerakannya berubah signifikan.
Saat ini, harga Bitcoin berhenti di Rp1,446 miliar per BTC, atau sedikit di atas USD85.000. Kenaikan tipis ini tidak lagi mencerminkan kekuatan tren, namun hanya menyerupai pantulan teknikal di tengah tekanan jual yang belum selesai.
Hingga Oktober 2025, Bitcoin telah terkoreksi lebih dari 30 persen dari puncak USD125.000. Dalam sejarahnya, penurunan seperti ini memang bukan ha lasing tapi sekarang konteksnya berbeda. Penurunan terjadi bersamaan dengan perubahan rezim kebijakan moneter global, terutama Ketika Federal Reserve memangkan suku bunga.
Pemangkasan tersebut bukan karena ekonomi yang terlalu panas, tetapi perlambatan tekanan. Polanya mirip dengan fase pra-krisis yang terjadi pada 2007-2008.
Analis Bloomberg Intelligence Mike McGlone mengatakan, reli Bitcoin di atas USD100.000 mirip dengan saham-saham teknologi. Jika scenario deflasi pascainflasi benar-benar terjadi, aset dengan karakter paling spekulati seperti Bitcoin akan jadi korban utama. Target bawah ekstrem Rp10.000 bukan tidak mungkin menjadi pembalikan besar dalam likuiditas dan selera risiko global.
Prediksi ini bukan omon-omon. Kembali ke data historis, sejak the Fed memangkas suku bunga 25 basis poin pada September 2025, Bitcoin turun hampir 25 persen. Pasar sepertinya membaca pemangkasan kali ini menjadi sinyal pelemahan ekonomi, bukan stimulus pertumbuhan.
Situasi ini identik dengan kondisi 2007, yaitu Ketika saham AS sempat mencetak rekor meski the Fed melonggakan kebijakan. Dan akhirnya, saham ambruk lebih dari 50 persen.
Bitcoin Mulai Lelah, Rebound Reaksi Sesaat
Beralih ke sisi teknikal. Bitcoin memang masih bertahan di atas area psikologis di USD80.000. Tapi relinya kecil dan tidak cukup kuat untuk mematahkan tren lower high sejak puncak Oktober. David Morrison dari Trade Nation bahkan menilainya sebagai gejala kelelahan.
Rebound yang terjadi menurutnya lebih bersifat reaksi sesaat ketimbang awal impuls baru. Risiko penurunan ke area USD80.000 masih terbuka. Apalagi jika level ini ditembus, tekanan psikologis pasar bisa meningkat drastis.
Ancaman paling besar sebenarnya tidak hanya datang pada Bitcoin, tapi lebih ke pasar kripto. Dengan valuasi pasar kripto global yang masih berada di kisaran USD3 triliun, skenario penurunan Bitcoin hingga USD10.000 berpotensi memangkas kapitalisasi pasar hingga mendekati USD300 miliar.
Ini berarti penghapusan nilai lebih dari USD2,5 triliun, dan menjadi sebuah skala kehancuran yang setara dengan krisis sistemik di pasar keuangan tradisional.
Namun, menyimpulkan bahwa kehancuran pasti terjadi juga terlalu simplistis. Bitcoin tetap memiliki basis adopsi yang jauh lebih luas dibanding siklus sebelumnya, mulai dari ETF, institusi, hingga peran sebagai lindung nilai alternatif di negara-negara dengan inflasi tinggi.
Faktor-faktor ini berpotensi menahan kejatuhan sedalam skenario ekstrem McGlone. Meski begitu, faktor penahan tersebut baru akan efektif jika kondisi makro global kembali stabil dan likuiditas membaik, sesuatu yang belum terlihat jelas untuk 2026.
Dengan demikian, prospek Bitcoin tahun depan cenderung berada di persimpangan besar. Jika ekonomi global memasuki fase deflasi pascainflasi dan pasar keuangan mengalami deleveraging besar, Bitcoin berisiko menjadi salah satu aset yang paling terpukul.
Sebaliknya, jika penurunan saat ini terbukti hanya koreksi dalam tren jangka panjang dan The Fed mampu mengelola pelonggaran tanpa memicu resesi dalam, Bitcoin berpeluang membentuk basis harga baru di level yang lebih rendah sebelum kembali mencari arah.
Yang jelas, fase “mudah naik” tampaknya telah berakhir. Bitcoin memasuki periode di mana narasi besar harus diuji oleh realitas makro, likuiditas, dan daya tahan investor.
Tahun 2026 bukan sekadar soal apakah Bitcoin naik atau turun, melainkan apakah ia mampu bertahan sebagai aset global di tengah siklus ekonomi yang berpotensi paling menantang sejak krisis finansial 2008.(*)