KABARBURSA.COM - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menggarisbawahi ketidakpastian yang terus melanda pasar keuangan global, sementara proyeksi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan semakin merosot pada tahun 2024.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK III 2024 di Jakarta, Jumat 2 Agustus 2024.
"Tahun 2024 menunjukkan bahwa semua proyeksi yang dikeluarkan lembaga-lembaga internasional memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil namun pada level yang sangat lemah," ujar Sri Mulyani, Jumat 2 Agustus 2024.
Menurut laporan terbaru World Economic Outlook (WEO) dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juli 2024, ekonomi global diperkirakan hanya tumbuh sebesar 3,2 persen sepanjang tahun ini. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu, 2023, yang tercatat sebesar 3,3 persen.
"Ingatan kita mungkin masih segar pada pernyataan Managing Director IMF tahun lalu yang menyebutkan tahun lalu sebagai tahun yang suram. Jika outlook untuk 2024 adalah 3,2 persen, ini berarti pertumbuhan ekonomi dunia masih stagnan dan lebih lemah dibandingkan tahun lalu yang sudah dianggap stagnan," papar Sri Mulyani.
Dia menambahkan bahwa ekonomi Amerika Serikat, sebagai negara dengan ekonomi terbesar, menunjukkan ketahanan yang baik, terutama didorong oleh permintaan domestik. Meskipun, statistik terbaru menunjukkan bahwa perkembangan ini dapat mempengaruhi kebijakan fiskal dan moneter ke depan.
Sementara itu, China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, masih belum menunjukkan kinerja pertumbuhan yang kuat. Pada kuartal II 2024, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7 persen, jauh di bawah target 5 persen.
"Kelemahan ini disebabkan oleh rendahnya permintaan domestik di China, baik dalam konsumsi maupun investasi. Tekanan di sektor properti juga masih berlanjut," jelas Sri Mulyani.
Sentimen Risk Off
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan bahwa hingga 4 Juli 2024, investor asing telah mencatatkan net outflow sekitar USD 300 juta dari pasar saham. Kepemilikan investor asing pada Surat Berharga Negara (SBN) juga turun sekitar USD1,9 miliar. Namun, hingga akhir Juni 2024, kepemilikan asing pada SRBI meningkat sekitar Rp 123,21 triliun.
Sentimen risk-off yang melanda pasar keuangan global memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Faktor utama berasal dari ketidakpastian geopolitik Timur Tengah, arah suku bunga Fed, ketidakpastian politik di Eropa, pelemahan Yen Jepang, dan devaluasi Yuan.
Di sisi domestik, investor sempat khawatir dengan keberlanjutan fiskal. Namun, pemerintah telah mengonfirmasi bahwa defisit fiskal jangka pendek akan tetap prudent, kata Josua, dikutip Jumat 2 Agustus 2024.
Rupiah melemah 5,4 persen sejak awal tahun dan kini berada di kisaran Rp 16.278 per dolar AS. Kedepannya, nilai tukar rupiah diperkirakan akan stabil berkat fundamental ekonomi Indonesia yang solid, prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, inflasi terkendali, dan posisi cadangan devisa yang memadai.
Cadangan devisa Indonesia pada Juni 2024 tercatat sebesar USD 140,2 miliar, meningkat dari USD139 miliar pada bulan sebelumnya. Cadangan ini cukup untuk membiayai 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan cadangan devisa internasional yang sekitar 3 bulan impor.
Ekspektasi Penurunan Suku Bunga
CDS 5 tahun Indonesia sepanjang 2024 berada di rentang 67,85-80,48. Level terendah tercatat pada pertengahan Maret 2024 dan tertinggi pada pertengahan April 2024 setelah meningkatnya tensi geopolitik Timur Tengah.
Dalam dua hari terakhir, CDS cenderung turun di tengah ekspektasi pasar bahwa Fed berpotensi menurunkan suku bunga FFR sebesar 50bps pada September dan Desember 2024.
Josua menekankan bahwa investor perlu waspada terhadap potensi kenaikan suku bunga oleh the Fed dan dampak risiko global yang muncul dari situasi politik di AS dan Uni Eropa. Risiko global akan tetap menjadi perhatian utama pada paruh kedua tahun 2024, jelasnya.
Faktor-faktor tersebut dinilai dapat membatasi aliran modal asing ke Indonesia, dengan penurunan pertama Federal Funds Rate (FFR) diperkirakan terjadi pada kuartal IV 2024. Meskipun ada potensi penurunan suku bunga FFR tahun ini, ruang penurunan suku bunga BI lebih terbuka di awal tahun 2025.
Dalam kondisi penurunan suku bunga Fed, obligasi pemerintah menjadi instrumen investasi yang menarik. Penurunan suku bunga Fed akan menurunkan yield US Treasury (UST), yang dapat mendorong aliran modal asing ke pasar obligasi domestik.
Dengan ekspektasi penurunan suku bunga acuan BI pada awal 2025, saham di sektor ekonomi yang sensitif terhadap penurunan suku bunga juga potensial. Penurunan suku bunga akan mengurangi biaya pinjaman dan meningkatkan margin keuntungan.
Harga sebagian besar instrumen keuangan berpotensi meningkat seiring penurunan suku bunga domestik. Oleh karena itu, investor disarankan untuk melakukan diversifikasi portofolio di berbagai kelas aset dan sektor ekonomi untuk mengurangi risiko. Fokus pada aset keuangan berkualitas tinggi, seperti saham perusahaan dengan fundamental kuat dan obligasi dengan peringkat kredit baik, juga disarankan.
Selain itu, meningkatkan durasi portofolio obligasi untuk mendapatkan capital gain dari kenaikan harga obligasi dan mengelola likuiditas dengan baik dalam portofolio untuk memanfaatkan peluang investasi yang muncul adalah strategi yang bijak. Menghindari penggunaan leverage berlebihan dalam lingkungan suku bunga yang berfluktuasi juga penting untuk mengurangi risiko keuangan, tambah Josua. (*)