KABARBURSA.COM - Setengah dari warga Jepang merasa bahwa hubungan negaranya dengan Korea Selatan berjalan baik. Ini adalah angka tertinggi dalam survei tahunan sejak 2011, mencerminkan upaya pemimpin kedua negara untuk mempererat hubungan.
Angka ini meningkat dari 45 persen tahun lalu, menurut jajak pendapat yang dilakukan pada 24-26 Mei oleh surat kabar Jepang Yomiuri dan surat kabar Korea Selatan Hankook Ilbo. Di Korea Selatan, 42 persen responden berpendapat hubungan kedua negara baik, stabil dari 43 persen tahun lalu.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, menjadikan peningkatan hubungan dengan Jepang dan AS sebagai prioritas untuk menghadapi provokasi Korea Utara dengan lebih tegas dibanding pendahulunya. Yoon telah bertemu dengan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, di Tokyo dan Seoul, serta mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan isu bilateral terkait masa penjajahan Jepang di Semenanjung Korea dari 1910-1945, meskipun berisiko menurunkan dukungan publik dalam negeri.
Kedua negara juga memperkuat kerja sama keamanan dengan AS di tengah ketegangan meningkat dengan Korea Utara dan konflik antara Washington dan Beijing. Ini memuncak dalam pertemuan penting di Camp David dengan Presiden Joe Biden pada Agustus tahun lalu.
Survei tersebut menunjukkan bahwa 73 persen responden di Jepang menganggap AS lebih penting daripada China bagi negara mereka, sementara 68 persen responden di Korea Selatan lebih memilih AS daripada China.
Walaupun survei terbaru tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam pandangan orang Korea Selatan tentang Jepang, terjadi peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara tersebut. Tiga juta orang Korea Selatan mengunjungi Jepang dalam empat bulan pertama tahun ini, sekitar seperempat dari seluruh kedatangan pengunjung, menurut data dari Organisasi Pariwisata Nasional Jepang.
Dinamika Hubungan Jepang-Korea Selatan
Pada tahun 2024, hubungan ekonomi antara Jepang dan Korea Selatan menunjukkan dinamika yang positif dan berorientasi ke depan. Kedua negara telah membuka "babak baru" dalam hubungan bilateral mereka, ditandai dengan pertemuan tingkat tinggi yang dilakukan oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Pertemuan ini menandai kunjungan bilateral pertama dari seorang presiden Korea Selatan ke Jepang dalam 12 tahun terakhir.
Beberapa langkah konkret yang telah diambil meliputi pencabutan pembatasan ekspor komponen semikonduktor oleh Jepang, yang merupakan langkah penting bagi industri teknologi Korea Selatan. Sebagai balasannya, Korea Selatan akan membatalkan pengaduan terkait di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, kedua negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian berbagi data intelijen yang dikenal sebagai GSOMIA dan memulai kembali diplomasi ulang alik yang sempat tertunda.
Selain itu, pertemuan menteri keuangan kedua negara menekankan pentingnya kerjasama dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Jepang dan Korea Selatan berkomitmen untuk memperkuat kemitraan di sektor teknologi tinggi seperti semikonduktor dan baterai. Pertemuan ini juga mencakup diskusi tentang pengembangan rudal Korea Utara dan tantangan geopolitik lainnya, menekankan perlunya kerjasama erat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Secara keseluruhan, dinamika hubungan ekonomi Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2024 memperlihatkan upaya bersama untuk mengatasi tantangan ekonomi dan geopolitik, serta memperkuat kerjasama di berbagai sektor strategis.
Dinamika Hubungan Korsel dan Korut
Pada tahun 2024, hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara mengalami ketegangan yang semakin meningkat. Salah satu peristiwa yang menonjol adalah pidato keras Kim Jong Un pada malam pergantian tahun, di mana ia menginstruksikan militernya untuk siap menghancurkan Korea Selatan dan Amerika Serikat jika terjadi konfrontasi militer. Kim Jong Un juga menegaskan bahwa Korea Utara tidak akan lagi mencari rekonsiliasi atau reunifikasi dengan Korea Selatan.
Pada Januari 2024, Kim Jong Un menyatakan dalam pertemuan Majelis Rakyat Tertinggi di Pyongyang bahwa upaya reunifikasi dengan Korea Selatan tidak lagi mungkin, dan menyebut Korea Selatan sebagai "musuh utama". Ia juga berencana menghancurkan monumen reunifikasi yang dibangun oleh ayahnya di Pyongyang serta menghapuskan semua lembaga yang mempromosikan kerjasama dengan Seoul.
Respon dari Korea Selatan terhadap retorika dan tindakan provokatif ini adalah memperkuat kemampuan militernya. Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, menyatakan bahwa negaranya akan fokus pada peningkatan pertahanan rudal dan respons militer terhadap ancaman nuklir dari Korea Utara. Yoon menegaskan bahwa perdamaian yang sejati hanya bisa dicapai melalui kekuatan, bukan dengan tunduk pada niat baik musuh.
Secara keseluruhan, dinamika hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara pada tahun 2024 ditandai dengan ketegangan yang tinggi dan sikap saling bermusuhan, dengan fokus utama pada kekuatan militer dan strategi pertahanan masing-masing negara. (*)