KABARBURSA.COM – Kinerja PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), anak usaha utama PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah dua tahun menikmati limpahan keuntungan dari lonjakan harga batu bara global.
Dalam laporan keuangan kuartal III-2025, berakhirnya masa superprofit tersebut sangat jelas terlihat. Laba bersih AADI anjlok hampir setengahnya. Ini menjadi tekanan serius pada mesin utama laba grup Adaro.
Hingga 30 September 2025, AADI mencatat laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar USD587,32 juta. Catatan ini merosot 45,35 persen dari USD1,07 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Penurunan tajam ini sejalan dengan menyusutnya pendapatan usaha 10,89 persen menjadi USD3,60 miliar. Penyebabnya adalah harga jual batu bara yang melemah dan penurunan volume ekspor ke Asia Timur.
Meskipun beban pokok pendapatan turun 9,21 persen menjadi USD2,66 miliar, tekanan pendapatan yang lebih besar menyebabkan margin laba kotor ikut terkikis dari USD1,11 miliar menjadi USD943,26 juta.
Laba per saham dasar (EPS) juga turun drastis menjadi USD0,07542, hanya separuh dari capaian 2024. Secara konsolidasi, laba periode berjalan AADI hanya mencapai USD654,86 juta, jauh di bawah USD1,16 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Angka-angka ini mempertegas bahwa siklus batu bara sudah memasuki fase normalisasi, dan bisnis inti Adaro kini menghadapi tantangan pertumbuhan yang makin berat.
Kapitalisasi Naik, Profitabilitas Turun
Melemahnya harga batu bara acuan (HBA), naiknya biaya logistik, serta penurunan volume ekspor membuat ruang perbaikan AADI semakin terbatas. Asetnya memang meningkat dari USD5,99 miliar menjadi USD6,11 miliar, tetapi tidak diikuti pertumbuhan laba. Ini menjadi tanda bahwa perusahaan kini memasuki fase asset heavy, return light. Kapitalisasi naik, namun profitabilitas menurun.
Meski demikian, struktur keuangan AADI masih tergolong kuat. Total liabilitas berhasil ditekan dari USD2,62 miliar menjadi USD2,31 miliar, sementara ekuitas meningkat menjadi USD3,79 miliar. Posisi kas besar, mencapai USD23,65 triliun, membuat AADI tetap berada dalam posisi net cash.
Dengan rasio utang rendah (DER 0,30), current ratio 2,32, dan quick ratio 2,20, AADI masih mampu menjaga likuiditas dan membayar kewajiban jangka pendek tanpa tekanan berarti.
Namun kekuatan neraca itu tidak mampu menutupi kenyataan bahwa profitabilitas AADI tengah menurun tajam. Margin laba bersih yang kini hanya 13,12 persen menunjukkan bahwa efisiensi internal belum cukup untuk menahan dampak turunnya harga jual.
Return on Equity (ROE) melemah ke 20,32 persen, dari sebelumnya di atas 30 persen saat masa puncak harga batu bara 2022. Dengan net profit margin yang terus turun dan pertumbuhan pendapatan negatif dua digit, tanda-tanda penurunan daya dorong laba grup makin nyata.
ADRO Ikut Terseret Pelemahan AADI
Situasi ini memiliki implikasi langsung bagi induknya, ADRO. Sebagai kontributor utama, lebih dari 70 persen pendapatan dan laba grup berasal dari AADI, penurunan kinerja anak usaha ini secara otomatis membebani hasil konsolidasi.
Arus kas operasional grup akan lebih ketat, sementara ruang ekspansi ke proyek hilirisasi seperti PLTU, smelter alumina, dan energi terbarukan bisa tertunda. Dengan dividen yang berpotensi menurun, investor publik ADRO juga menghadapi risiko yield stagnan di tengah valuasi saham yang mulai bergerak datar.
Di sisi pasar, reaksi terhadap penurunan AADI menciptakan persepsi baru terhadap ADRO, yaitu grup yang masih kuat secara neraca, tapi kehilangan tenaga laba.
Saham ADRO memang masih diperdagangkan dengan valuasi rendah, PER 5,58 kali dan PBV 1,13 kali, jauh di bawah median IHSG, namun PEG ratio negatif (-5,61) menjadi alarm bahwa pertumbuhan laba tak lagi sejalan dengan kenaikan harga saham. Dengan Earnings Yield 17,91 persen, saham ini kini lebih dilihat sebagai value stock ketimbang growth stock.
Adaro kini berada di titik transisi penting, dari era ekspansi berbasis volume menuju era efisiensi berbasis nilai. AADI menjadi simbol perubahan itu, bukan lagi mesin pertumbuhan agresif, melainkan penopang stabilitas keuangan induk.
Diversifikasi ke energi baru dan hilirisasi mineral memang tengah digenjot, tetapi kontribusinya terhadap laba belum mampu menandingi turunnya hasil tambang batu bara.
Secara keseluruhan, AADI masih memiliki struktur keuangan yang solid dan kemampuan bertahan tinggi, namun pertumbuhan laba sudah kehilangan momentum. Bagi ADRO, ini berarti fondasi tetap kokoh, tapi dorongan pertumbuhan menurun. Investor mungkin masih menemukan value di saham ini, tetapi bukan lagi pertumbuhan yang eksplosif.
Dengan kata lain, AADI kini menjadi titik lemah baru dalam mesin laba Grup Adaro—anak usaha yang kuat secara kas, tapi mulai kehilangan daya bakar profitnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.