KABARBURSA.COM - Keputusan Komite Pengambil Kebijakan Federal Reserve (Federal Open Market Committee/FOMC) untuk mempertahankan suku bunga di level 5,5 persen telah memberikan sentimen positif kepada nilai tukar negara berkembang.
Ariston Tjendra, analis pasar uang, menyebut salah satu mata uang itu adalah rupiah. Hasil pertemuan The Fed tersebut memberikan indikasi bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) tidak akan menaikkan suku bunga acuannya tahun ini.
Meskipun demikian, The Fed masih mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) pada tahun ini.
"Dengan beberapa pelaku pasar memprediksi pemangkasan tersebut akan terjadi pada September atau Desember 2024," kata Ariston, dikutip Jumat, 3 Mei 2024.
Dampak dari sikap The Fed yang tidak hawkish terlihat dalam pelemahan dolar AS di pasar, dengan indeks dolar AS turun ke area 105,60 dari sebelumnya di kisaran 106.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai keputusan tersebut telah diperhitungkan oleh bank sentral negara berkembang.
"Dalam konteks itu, termasuk Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen pada akhir Maret," tuturnya.
Penyesuaian tersebut diharapkan dapat mengantisipasi dampak lanjutan dari keputusan Bank Sentral AS.
Yusuf juga mengatakan keputusan BI menaikan suku bunga acuannya pada RDG kemarin, merupakan salah satu upaya untuk menekan nilai tukar rupiah agar tidak terdepresiasi lebih dalam.
Ia juga berharap, keputusan BI itu dapat memberikan ketenangan bagi investor agar tidak menarik dananya dari dalam negeri.
Rupiah menguat meninggalkan zona Rp16.200-an per USD setelah keputusan tersebut. Penguatan rupiah menjadi yang terbesar ketiga di Asia setelah won Korea dan peso Filipina, sementara sebagian besar valuta Asia berhasil melawan dolar AS.