KABARBURSA.COM - Perusahaan-perusahaan dari Timur Tengah dan Jepang kini semakin memandang Asia Tenggara sebagai lahan subur untuk menanamkan investasi mereka, mengalihkan sebagian besar potensi modal dari kawasan Asia lainnya. Hal ini diungkapkan oleh Martin Siah, country head Bank of America Corp di Singapura.
"Sektor-sektor seperti layanan kesehatan, infrastruktur digital, energi terbarukan, serta jasa keuangan, saat ini menjadi primadona di kawasan tersebut, " ungkap Siah, dikutip Selasa 28 Agustus 2024.
Menurut Siah, Asia Tenggara kini berada di puncak siklus pertumbuhan yang mengagumkan, mencatat rekor investasi asing langsung dalam beberapa tahun terakhir. Dia menyatakan bahwa pihaknya sangat optimis mengenai prospek merger dan akuisisi (M&A) di wilayah ini.
Singapura, dalam konteks ini, berperan vital sebagai pusat bisnis bagi banyak perusahaan, khususnya institusi keuangan. Dalam beberapa bulan terakhir, negara kota ini telah berkembang menjadi episentrum aktivitas merger dan akuisisi, didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik yang relatif kuat.
“Kami menyaksikan hiruk-pikuk aktivitas M&A di Singapura,” ujar Siah, yang juga memimpin korporasi global dan perbankan investasi Bank of America di Asia Tenggara. Ia menambahkan bahwa para bankir yang menangani transaksi tersebut bekerja sangat keras dari tahun ke tahun.
Meskipun aktivitas M&A tetap menggeliat, Siah mengakui bahwa penawaran saham perdana dan pasar modal ekuitas di Asia Tenggara mengalami jeda selama 12 hingga 18 bulan terakhir. Namun demikian, ia melihat potensi kebangkitan IPO di masa mendatang, dengan beberapa inisiatif baru yang sudah mulai muncul di pipeline.
Asia Tenggara Sepi IPO
Penawaran saham perdana (IPO) di bursa saham Asia Tenggara mengalami penurunan tajam dalam enam bulan pertama tahun 2024. Kapitalisasi pasar merosot drastis sebesar 71 persen menjadi USD5,8 miliar.
Laporan terbaru dari Deloitte, mengungkapkan bahwa bursa saham Asia Tenggara hanya mencatatkan 67 IPO pada semester pertama tahun ini. Angka ini turun 21,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Perolehan dana dari hasil IPO juga mengalami penurunan signifikan, menurun 53,3 persen menjadi USD1,4 miliar.
Di Indonesia, penggalangan dana IPO merosot tajam dengan penurunan yang paling mencolok di antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia, yang sebelumnya memimpin daftar IPO Asia Tenggara pada 2023, mengalami penurunan drastis pada paruh pertama tahun 2024. Investor dan calon emiten IPO memilih untuk bersikap wait-and-see, mempertimbangkan pemilihan presiden pada Februari 2024 dan menunggu kebijakan ekonomi baru, ujar analis Deloitte.
Kapitalisasi pasar IPO Indonesia turun 92,2 persen menjadi USD1,22 miliar dari Januari hingga Juni. Sementara itu, hasil IPO yang diperoleh turun 89,1 persen menjadi USD248 juta dibandingkan tahun lalu. Jumlah pencatatan saham baru di Indonesia menurun menjadi 25 dari 44 pada periode yang sama tahun lalu, atau turun 43,2 persen.
Deloitte melaporkan bahwa tidak ada IPO besar yang sangat sukses sejak Januari hingga Juni tahun ini. Hanya ada satu IPO besar yang berkapitalisasi pasar lebih dari USD1 miliar dan mengumpulkan dana lebih dari USD200 juta. Pada periode yang sama tahun lalu, ada tiga IPO besar yang masing-masing mengumpulkan lebih dari USD600 juta.
Tren penurunan ini, menurut data Deloitte, merupakan kelanjutan dari paruh kedua tahun 2022. Penurunan tersebut mencerminkan sentimen pasar IPO yang tenang, di mana investor dan kandidat IPO terus beradaptasi dengan faktor-faktor ekonomi makro. Meskipun demikian, laporan tersebut menunjukkan bahwa paruh kedua tahun-tahun sebelumnya sering kali menunjukkan kinerja yang lebih baik antara tahun 2020 hingga 2022.
Meskipun prospek pertumbuhan positif dan peningkatan investasi asing langsung di Asia Tenggara, ketidakstabilan geopolitik yang berkepanjangan dan lingkungan suku bunga tinggi telah menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi kondisi pasar dan sentimen investor di kawasan ini, kata Tay Hwee Ling, pemimpin akuntansi dan pelaporan assurance Asia Tenggara di Deloitte.
Tay Hwee Ling memperingatkan bahwa suku bunga tinggi kemungkinan akan bertahan pada tahun 2024 karena pemerintah fokus pada penanganan inflasi. Dalam konteks ini, investor cenderung berfokus pada profitabilitas yang sudah terbukti dan arus kas yang berkelanjutan, daripada tertarik pada berbagai model bisnis pertumbuhan yang populer antara tahun 2020 hingga 2022.
Meski pasar IPO Asia Tenggara mungkin tampak lesu pada tahun 2024, ada optimisme hati-hati bahwa kondisi akan membaik setelah tahun tersebut. Tay berpendapat bahwa suku bunga yang lebih rendah di masa depan dapat mendorong kembali pencatatan REIT (dana investasi real estat), sementara IPO terkait kecerdasan buatan (AI) mungkin akan memasuki pasar dalam waktu dekat karena banyak perusahaan AI masih berada dalam tahap awal.
"Kami mengantisipasi gelombang besar IPO AI yang akan memasuki pasar modal dalam beberapa tahun mendatang, membawa inovasi dan peluang baru," kata Tay. (*)