KABARBURSA.COM - Pelemahan rupiah ke kisaran Rp16.575–Rp16.585 per dolar AS menempatkannya pada titik terendah sejak krisis keuangan Asia 1998. Meskipun sempat mengalami penguatan harian tipis sebesar 15 poin atau 0,09 persen, tekanan terhadap mata uang Garuda masih belum mereda. Pasar merespons kombinasi berbagai faktor, termasuk suku bunga tinggi di Amerika Serikat, ketegangan geopolitik global, serta ketidakpastian arah kebijakan ekonomi domestik.
Ekonom Universitas Andalas, Syafrudin Karimi, menilai bahwa kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menghadapi situasi ini masih belum cukup meyakinkan.
“Sentimen pasar masih positif dan BI siap melakukan intervensi. Namun, ketika tidak ada penjelasan lebih rinci tentang bentuk intervensi. Cadangan devisa yang digunakan, serta level nilai tukar yang ingin dijaga, maka pasar akan membaca ketidaktegasan tersebut sebagai sinyal ketidakpastian,” ujarnya kepada KabarBursa.com, Kamis 27 Maret 2025.
Ia menekankan bahwa lonjakan nilai tukar rupiah yang telah menembus Rp16.600 per dolar AS bukan sekadar masalah fluktuasi pasar valuta asing.
Dia menekankan bahwa kekhawatiran publik tidak hanya sebatas fluktuasi pasar valas, tetapi juga menyangkut kesiapan pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah meningkatnya tekanan global.
"klaim bahwa ‘fundamental ekonomi tetap kuat’ terdengar melegakan. Namun, publik dan pelaku pasar menuntut sesuatu yang lebih konkret, strategi, arah kebijakan, dan ketegasan langkah,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Syafrudin menyoroti proyeksi nilai tukar rupiah yang dirilis dalam konsensus pasar terbaru. Meskipun rupiah diperkirakan menguat dalam jangka pendek, yakni dari Rp16.575 menuju Rp16.025 dalam tiga bulan ke depan, risiko pelemahan kembali tetap ada di paruh kedua tahun ini.
“Proyeksi USD/IDR menyentuh Rp16.295 dalam enam bulan sebelum stabil di Rp16.150 dalam satu tahun. Ini bukan semata ramalan angka, melainkan refleksi atas harapan dan keraguan investor terhadap arah ekonomi Indonesia,” tuturnya.
Data FX Polls terbaru per 26 Maret 2025 juga menunjukkan bahwa pasar global masih memiliki pandangan beragam terhadap rupiah. Konsensus memperkirakan penguatan sebesar 0,27 persen dalam satu bulan, pelemahan 0,40 persen dalam tiga bulan, lalu kembali menguat 1,27 persen dalam enam bulan, sebelum akhirnya stabil dengan penguatan 0,37 persen dalam satu tahun.
Di sisi lain, tekanan eksternal turut berperan dalam menekan rupiah. Pada pembukaan pasar Asia 27 Maret, indeks dolar AS menguat signifikan setelah Presiden Donald Trump mengisyaratkan rencana tarif otomotif terhadap Uni Eropa.
“Kombinasi ketegangan perdagangan, lonjakan pesanan barang tahan lama AS, dan pernyataan hawkish dari pejabat The Fed memperkuat posisi dolar sebagai aset lindung nilai. Sementara itu, rupiah melemah tipis di tengah ketidakpastian arah kebijakan fiskal domestik,” pungkasnya.
Bantah BI Soal Ekonomi RI Lebih Stabil dari 98
Kendati demikian Bank Indonesia menilai bahwa kondisi perekonomian nasional saat ini jauh lebih stabil dan tangguh dibandingkan saat terjadi krisis moneter pada 1998.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, yang menyatakan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia telah diperkuat melalui kebijakan yang terintegrasi, sistem pengawasan yang komprehensif, serta instrumen makroprudensial yang semakin solid.
“Situasi saat ini sangat berbeda dari tahun 1998. Pasca krisis keuangan Asia, kita melakukan banyak pembenahan, baik dari sisi regulasi maupun kerangka pengawasan,” ungkap Solikin dalam Taklimat Media membahas Kebijakan Likuiditas Bank Indonesia, Rabu, 26 Maret 2025.
Ia mengulas kembali bahwa pada 1998 nilai tukar rupiah merosot tajam dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp16.000 per dolar AS. Saat itu, inflasi melesat hingga 77 persen, dan ekonomi mengalami kontraksi sekitar 13 persen. Kini, Indonesia mampu menjaga pertumbuhan di kisaran 4 persen meski dalam tekanan global yang cukup berat.
“Dulu kita kesulitan mengenali sumber kerentanan. Sekarang, kita memiliki sistem deteksi dan mitigasi risiko yang jauh lebih matang,” katanya. Menurutnya, koordinasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, terutama lewat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), menjadi kunci menjaga stabilitas sektor keuangan saat ini.
Ia juga menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah masih mencerminkan kondisi fundamental ekonomi, sementara depresiasi yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor eksternal.
“BI tetap menjaga agar volatilitas tidak berlebihan, dengan hadir di pasar untuk memastikan stabilitas tetap terjaga,” tambahnya.
Dalam membandingkan dengan kondisi 1998, Solikin menyebut ketahanan ekonomi Indonesia kini mencakup sektor rumah tangga, korporasi, serta perbankan yang lebih kuat.
“Dulu semua sektor sangat rentan. Kini ketahanan ekonomi kita jauh lebih solid, baik dari sisi permintaan maupun pasokan,” ujar Solikin.
Solikin juga menegaskan bahwa fundamental ekonomi nasional tetap kuat. Sejumlah indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan PDB sebesar 5,02 persen pada 2024, inflasi yang terkendali di 1,57 persen, defisit transaksi berjalan yang tipis di 0,32 persen, serta rasio permodalan perbankan (CAR) yang solid di 27,76 persen, menunjukkan kestabilan struktural.
Namun, Syafrudin justru mempertanyakan klaim itu. Jika ekonomi benar-benar stabil, mengapa IHSG anjlok dan rupiah terus melemah?
Sikap BI Dinilai Mirip Jelang Krisis 1998
Dia merasa, sikap BI menghadapi kondisi ekonomi hari ini serupa dengan pernyataan Gubernur BI era Soeharto, Sudrajat Djiwandono.
Dia mengatakan menjelang krisis saat itu pernyataan "Fundamental ekonomi Indonesia kuat" sering di gaungkan terutama pada pertengahan tahun 1997, setelah krisis baht Thailand pecah pada 2 Juli 1997.
Dalam berbagai pernyataan resmi dan wawancara media, Sudrajat Djiwandono (Gubernur BI periode 1993–1998) menegaskan bahwa Indonesia tidak akan terpengaruh krisis Thailand karena, Cadangan devisa Indonesia saat itu dianggap cukup, rupiah berada dalam sistem managed float dan dinilai stabil, dan, Indonesia tidak memiliki ketergantungan utang jangka pendek sebesar Thailand.
Namun kenyataannya, pada Agustus 1997, spekulan mulai menyerang rupiah. BI sempat menguras cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar, sebelum akhirnya melepaskan rupiah ke pasar bebas pada 14 Agustus 1997.
"Nilai tukar rupiah anjlok dari kisaran Rp2.400/USD ke Rp16.800/USD pada puncak krisis 1998," terang dia.
Sektor Keuangan Jadi Alasan IHSG Lemah
Untuk diketahui, pada perdagangan hari ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah, Kamis, 27 Maret 2025, turun 50,40 poin atau 0,78 persen ke level 6.421,96.
Sejak pembukaan, indeks bergerak dalam rentang 6.419,30 hingga 6.472,72. Total volume transaksi tercatat sebesar 3,68 juta lot dengan nilai perdagangan mencapai Rp407,81 miliar dari 30.400 transaksi.
Pelemahan IHSG terjadi di tengah tekanan dari sektor keuangan dan industri yang masing-masing turun 0,71 persen dan 0,44 persen. Sentimen global masih membayangi pergerakan indeks, terutama terkait ekspektasi kebijakan suku bunga The Fed dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. (*)